Mohon tunggu...
Nurul Azmi
Nurul Azmi Mohon Tunggu... Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mataram

Hobi saya membaca dan suka jalan-jalan, dan juga saya sebagai mahasiswa s2 ingin menunjukkan kemampuan dan hasil kerja keras sehingga mampu membanggakan orang tua.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Hikmah di Balik Perceraian dalam Perspektif Hukum Islam"

20 Oktober 2025   19:29 Diperbarui: 20 Oktober 2025   18:27 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perceraian merupakan salah satu isu penting dalam hukum keluarga Islam yang memerlukan pemahaman mendalam, baik dari sisi hukum maupun moral. Dalam pandangan masyarakat, perceraian sering dipandang negatif, bahkan dianggap sebagai kegagalan dalam membina rumah tangga. Namun, dalam perspektif hukum Islam, perceraian tidak semata-mata dilihat sebagai akhir dari hubungan pernikahan, tetapi juga sebagai solusi terakhir yang dibolehkan untuk menghindari ketidakadilan dan penderitaan yang lebih besar. Islam menempatkan perceraian dalam posisi yang sangat hati-hati: ia diperbolehkan, namun dibenci oleh Allah jika dilakukan tanpa alasan yang benar. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, 'Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.' (HR. Abu Dawud).

Ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas perceraian, seperti Surah Al-Baqarah ayat 229-231, memberikan panduan agar perceraian dilakukan dengan cara yang baik (*bi al-ma'rf*) dan tidak menimbulkan permusuhan antara suami istri. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hikmah di balik perceraian menjadi penting agar hukum ini dipahami tidak hanya dari aspek legalistik, tetapi juga dari nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual yang terkandung di dalamnya.

Pandangan Islam terhadap Perceraian

Islam mengakui bahwa kehidupan rumah tangga tidak selalu berjalan harmonis. Ketika konflik tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah dan nasihat, maka perceraian diperbolehkan sebagai jalan keluar. Dalam Surah An-Nisa ayat 35, Allah SWT berfirman tentang pentingnya menghadirkan penengah (*hakam*) dari kedua belah pihak untuk menengahi pertikaian. Jika perdamaian tidak tercapai, maka perceraian menjadi pilihan yang lebih baik daripada mempertahankan hubungan yang menimbulkan dosa, kekerasan, dan penderitaan.

Dalam fikih Islam, terdapat berbagai bentuk perceraian seperti *talak* (cerai oleh suami), *khulu'* (cerai atas permintaan istri dengan imbalan), dan *fasakh* (pembatalan pernikahan oleh hakim). Masing-masing memiliki syarat dan prosedur yang bertujuan untuk menjaga keadilan dan menghindari penyalahgunaan. Dengan demikian, perceraian dalam Islam bukanlah bentuk ketidakhormatan terhadap ikatan pernikahan, melainkan mekanisme hukum untuk menjaga keseimbangan hidup dan kemaslahatan kedua pihak.

Hikmah di Balik Diperbolehkannya Perceraian

Diperbolehkannya perceraian dalam Islam mengandung hikmah yang mendalam. Pertama, untuk melindungi martabat manusia. Islam menolak adanya paksaan dalam mempertahankan hubungan yang penuh kebencian atau kekerasan. Perceraian memberikan jalan keluar yang bermartabat bagi suami dan istri agar dapat melanjutkan kehidupan dengan damai. Kedua, perceraian menjaga kemaslahatan sosial. Keluarga yang tidak harmonis berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi anak-anak dan lingkungan sosial.

Ketiga, perceraian mengandung nilai ujian spiritual. Dalam menghadapi perceraian, seorang muslim dituntut untuk bersabar, bertanggung jawab, dan tetap berpegang pada etika Islam. Ayat-ayat Al-Qur'an tentang perceraian menekankan pentingnya *ihsan* (kebaikan) bahkan ketika hubungan telah berakhir. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 229, 'Ceraikanlah mereka dengan cara yang baik.' Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memandang perceraian sebagai peristiwa hukum, tetapi juga sebagai ujian moral untuk mengukur ketulusan dan kedewasaan spiritual manusia.

Maqid al-Syar'ah dalam Hukum Perceraian

Dalam perspektif *maqid al-syar'ah*, hukum perceraian memiliki tujuan untuk menjaga lima aspek utama kehidupan manusia, yaitu agama (*dn*), jiwa (*nafs*), akal (*'aql*), keturunan (*nasl*), dan harta (*ml*). Ketika pernikahan justru merusak aspek-aspek tersebut, maka perceraian dapat menjadi bentuk perlindungan terhadap kemaslahatan hidup. Sebagai contoh, dalam kasus kekerasan rumah tangga, perceraian dapat menjadi sarana menjaga jiwa dan kehormatan korban. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar syariat bahwa segala hukum ditetapkan untuk membawa manfaat dan menolak kemudaratan (*jalb al-malaah wa dar' al-mafsadah*).

Pendekatan maqid ini juga mengajarkan bahwa keputusan hukum tidak boleh kaku, melainkan harus mempertimbangkan konteks sosial dan kemanusiaan. Oleh karena itu, para hakim di pengadilan agama diharapkan mampu menafsirkan hukum perceraian secara bijaksana, agar setiap keputusan mencerminkan keadilan dan kemaslahatan bagi semua pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun