Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih(kah) Bertatakata dengan Banjir

22 September 2020   20:34 Diperbarui: 22 September 2020   20:42 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/windyimra2

Masa bulan madu warga Jakarta dengan menikmati tanah kering, hampir usai. Dan siap kembali mengakrabi air yang menggenang (kalau tidak mau dibilang banjir) di sekitar lingkungan. Bukan maksud saya menyindir apalagi mengolok-olok saudara saya yang di Jakarta dan sekitar. Karena saya sendiri pernah merasa kesulitan melaksanakan rutinitas di luar rumah kalau banjir tiba-tiba menyapa.

Hampir enam bulan atau sejak bulan Mei gema banjir di Jakarta sangat berkurang. Karena curah hujan juga rendah sudah tidak setinggi antara bulan November hingga Pebruari. Pada bulan itulah musim hujan di Indonesia sedara umum datang menghampiri. Datang dengan agak maju waktunya atau mundur semau musimnya.  

Pada hari ini media televisi nasional maupun media sosial banyak mewartakan jika beberapa daerah. Misalnya berita dari Liputan 6 News (21 September 2020) mengabarkan jika Jalan Sudirman tergenang dengan ketinggian 50 cm yang membuat perjalanan mobil dan sepeda motor tersendat, bahkan tidak sedikit para pengendara yang memilih untuk melewati jalan tersebut.

Atau berita yang mencengangkan adanya banjir di Sukabumi dan Bogor sebelum Jakarta dilanda banjir yang pertama di musim penghujan tahun ini. 

Jadi masalah hujan yang berakibat banjir tidak hanya milik Ibu kota Negara tetapi sudah milik umum orang milik daerah di Indonesia. Hanya saja mungkin Jakarta sebagai barometer bernegara maka segala hal akan menjadi pusat perhatian, terlebih berkaitan dengan kebencanaan dan bagaimana penanggulangannya.

Himbauan-himbauan pun langsung keluar dari para penjabatnya ketika awal musim penghujan selalu ditekankan. Dari menjaga kebersihan lingkungan, membuat selokan lebih lebar dan lancar, menjaga kesehatan diri sendiri ditambah keadaan yang masih dirundung pandemi. Maka segala usaha untuk berhaddapan dengan musim hujan seperti berlipat-lipat.

Selama ini kegiatan yang dilakukan untuk mencegah agar fenomena alam yang sebenarnya sudah berulang-ulang dan sering terjadi kan membuat manusia akan sangat akrab dan bisa mengakalinya hingga tidak menjadikan bencana. Bisa menaklukkan fenomena yang seekstrim apa pun menjadi tonggak akan kemenangan manusia pada alam itu sendiri. Bukan kemenangan yang mengalahkan tetapi dapat memaksimalkan akal manusia, bukankah manusia dapat memanfaatkan api hanya untuk membakar kembang api, padahal api sesuatu yang luar biasa merusaknya.

Tetapi mengapa banjir di Jakarta selalu menyusahkan penghuninya, membuat orang kehilangan tanahnya karena erosi atau rumahnya hanyut rob, harus rela kehilangan  harta benda, kehilangan mata pencaharian, bahkan harus  ada yang merelakan  anggota keluarganya tersapu banjir. Dan masih banyak kerugian yang berskala lokal maupun nasional.

Perlakuan pada kebencenaan harus bersifat ekstraordinari, sangat luar biasa tidak bisa hanya dilakukan kalau nanti waktu ada bencana, jika nanti ada banjir. Akhirnya ketika bencana itu datang akan dengan mudah dikatakan itu sudah kehendak Tuhan, maka kita harus pasrah menerimanya. Harus tawakal pasti Tuhan akan mengganti dengan yang lebih baik jika mau mengiklaskannya. Sangat luar biasa. Sementara manusia harus meletakkan usaha terlebih dahulu, menyerahkan hasil kepada Pencipta kemudian.

Kepasrahan itu tampak, manakala tidak terlihat hanya suatu statemen bahwa para korban akan ditempatkan banjir akan ditempatkan pada gedung-gedung yang sudah disediakan. Dan di sana pastilah sudah disedikan perlengkapan yang mencukupi untuk kebutuhan selama mengungsi. Suatu pernyataan yang ambigu, membingungkan untuk masyarakat yang terdampak. Bukankah masyarkat diberi sikap optimis untuk berikutnya tidak akan terjadi bencana banjir.

Tentunya sikap itu harus disertai dengan suatu perbuatan nyata yang bersifat menyeluruh dari A-Z agar banjir atau kebencanaan lainnya tidak menimpa. Perbuatan nyata yang berkaitan pencagahan banjir terutama di kota besar seperti Jakarta tidak hanya akan melibatkan bentuk-bentuk fisik seperti sungai, kali, parit, dan selokan. Namun juga akan berkaitan dengan orang-orang yang menempati di atas atau disekitanya. Selama tidak ada tindakan-tindakan yang jelas maka hanya akan menjadi jargon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun