Bagaimanakah ongkos untuk ke tempat kerja saya? Mahal. Itulah jawaban yang paling pas. Jarak antara rumah dan kampus saya sangat jauh, yaitu 124 km. Saya berdomisili di Malang, sedangkan kampus saya di Tulungagung. Inilah yang menyebabkan ongkos ke tempat kampusmenjadi sangat mahal dari sisi finansial, waktu, dan sosial.
Dari sisi finansial, tidak sedikit uang yang harus keluar untuk transportasi. Dengan tiket go show ala PT KAI, sekali jalan saya harus bayar minimal Rp. 105. 000. Grab dari rumah ke stasiun sekitar Rp. 45.000, dan grab dari stasiun ke kampus sekitar Rp 8.000. Jadi, total Rp 158.000 harus saya keluarkan untuk sekali jalan. Jika dalam sepekan saya harus 4 kali jalan, maka Rp 632.000 harus dikeluarkan. Sebulan berarti Rp 2.528.000. Bukan jumlah sedikit.
Bagaimana jika dengan moda transportasi lain, semisal travel? Travel memang lebih irit. Tarifnya Rp 100.000 sekali jalan, dan saya tidak perlu nge-grab karena dia akan datang ke rumah untuk menjemput dan bisa ngantar saya hingga pintu gedung tujuan. Meski jauh lebih ekonomis, saya tidak pilih travel karena waktu tempuhnya sangat lama, yaitu 4 jam.
Dari sisi waktu, ongkos dari rumah ke kampus juga sangat mahal. Waktu tempuh dengan kereta antar kota sekitar 2 jam. Bukan waktu yang singkat bukan? Mereka yang rumahnya dekat dengan kampus tidak perlu keluar biaya waktu 2 jam untuk bisa sampai kampus. Mereka punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif, semisal membaca, mereview tulisan, menulis, dan lain-lain. Mereka yang musafir seperti saya harus pandai-pandai mensiasati waktu yang dua jam di jalan untuk hal-hal yang produktif.
Dari sisi sosial, ongkos dari rumah ke tempat kerja saya sangat mahal. Wira-wiri menyusuri jalan dengan waktu tempuh sekitar 2.5 jam mengorbankan banyak waktu bersama keluarga. Ketika saya harus ikut kereta Malabar yang berangkat pukul 05.25, maka maksimal pukul 05.00 saya harus sudah meninggalkan rumah. Hal ini berarti satu jam sebelumnya saya sudah harus bersiap-siap. Inilah salah satu ongkos sosial yang harus saya bayar karena saya harus kehilangan momen kebersamaan dengan keluarga di pagi hari. Dzikir pagi dengan khusyu' dan makan pagi bersama keluarga adalah momen manis yang harus dikorbankan untuk bisa mengejar kereta dan sampai di kampus tidak terlalu siang.
Menghitung jumlah uang yang harus saya keluarkan, waktu yang harus habis di jalan, dan momen manis yang kerap hilang, bisa disimpulkan bahwa ongkos untuk ke tempat kerja, bagi saya sangat pricy alias mahal. Lantas, bagaimana saya menekan mahalnya ongkos tersebut? Senantiasa memanfaatkan tiket go show ala KAI adalah strategi yang sangat efektif. Efisiensi bisa terlaksana melalui go-show. Bayangkan, tiket harga normal Rp 235.000 dengan go-show bisa turun hingga Rp 105.000. Menggunakan kereta local adalah strategi kedua yang saya tempuh untuk efisiensi. Tiket kereta lokal sangat murah, hanya Rp 15.000. Tapi ini jarang saya ambil karena waktu tempuh bisa lebih dari 3 jam, dan tiket harus dipesan jauh-jauh hari sebelumnya. Jika pesan mendadak biasanya tidak dapat tempat duduk. So, tiket go show menjadi prioritas dalam menekan ongkos.
Untuk menekan pemborosan waktu, saya mencoba untuk melakukan sesuatu selama di kereta. Membaca draft skripsi dan tesis mahasiswa sangat sering saya lakukan di kereta. Membuat draft tulisan terutama tulisan ilmiah popular juga sangat sering saya lakukan di kereta. Beberapa dari tulisan saya di Kompasiana saya bikin di kereta. Dengan cara demikian, saya tidak membuang waktu dua jam dengan percuma. "Dikungkung" di kereta bukan berarti pikiran kita terkungkung juga bukan? Badan boleh terkungkung, tapi pikiran akan tetap menyala dan membara.
Memanfaatkan quality time yang ada adalah strategi saya untuk menebus hilangnya momen manis di pagi hari yang sering hilang demi kereta. Ketika saya punya kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga, saat itulah saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk sedikit mengurangi guilty feeling. Tidak selalu efektif memang, tapi daripada tidak sama sekali....
Di atas semua itu, menata hati dan pikiran adalah strategi utama saya. Saya tidak punya pilihan. Mutasi ke kampus dekat rumah masih belum memungkinkan. Boyongan ke dekat kampus di Tulungagung juga belum memungkinkan. Dalam  kondisi seperti ini, menata hati dan pikiran hingga bisa menerima keadaan dengan lapang dada adalah jalan terbaik. Dengan kelapangan dada, segala sesuatunya bisa terasa lebih ringan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI