Mohon tunggu...
Nurul Chojimah
Nurul Chojimah Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung

Hobi: membaca, meneliti, dan menulis. Topik paling diminati: linguistik (bahasa), pendidikan, dan kegiatan sehar-hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wawancara dan Microteaching Tes CPNS Kemendikbud Ibarat Killing Ground

21 Desember 2023   19:15 Diperbarui: 21 Desember 2023   20:13 9020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SKD dan SKB, dua tes yang sangat obyektif dan transparan, menjadi ompong alias tidak bergigi ketika harus berhadapan dengan dengan dua tes yang sangat subyektif (wawancara dan microteaching). Mengapa demikian? Sistem yang diberlakukan oleh Kemendikbud memungkinkan untuk itu. Wawancara dan microteaching yang sangat subyektif seharusnya tidak sepenuhnya diserahkan kepada universitas penyedia formasi. Penguji seharusnya ada dari internal dan dari eksternal sehingga penilaian bisa lebih obyektif karena ada pembanding. Dengan menyerahkan sepenuhnya kepada universitas, maka terbuka peluang untuk lebih mengatur nilai sedemikian rupa sehingga menguntungkan pelamar internal. Nilai sempurna untuk wawancara (25) dan hampir sempurna untuk microteaching (24.5) yang diperoleh dua pelamar internal pada kasus anak saya adalah bukti betapa sistem ini sangat rawan akan manipulasi dan nepotisme.

Hal lain yang bisa dilakukan oleh Kemendikbud adalah tidak menjadikan tes subyektif sebagai pisau PENGGUGUR sehingga nilai tes lainnya masih bisa bergigi. Jadikan tes obyektif sebagai penggugur, bukan tes subyektif. Keadilan akan bisa dirasakan oleh semuanya bila pelamar dinyatakan gugur dengan bukti yang bisa diakses dan bisa divalidasi oleh semuanya layaknya yang terjadi pada tes SKD dan SKB CAT.

Sistem yang memberi otoritas sedemikian besar kepada universitas penyedia formasi sebenarnya tetap bisa berjalan dengan baik dan terhindar dari nepotisme bila pihak universitas beritikad baik dan menjaga diri untuk tidak bernepotisme. Sebaik dan seburuk apapun suatu sistem, semuanya akan kembali kepada eksekutor dari sistem tersebut. Jika tes ini sebenarnya dialokasikan untuk kalangan internal, sebaiknya formasi tersebut tidak dibuka untuk umum. Pengumuman bisa diatur sedemikian rupa sehingga hanya kalangan internal saja yang bisa mengikutinya. Ketika formasi tersebut dibuka untuk umum, maka semuanya berhak diperlakukan sama. Tidak ada keistimewaan bagi siapapun termasuk bagi pelamar internal.

Bukan hanya anak saya yang merasakan ketidakadilan, namun juga ada ratusan (atau bahkan ribuan) peserta lain mendapat perlakuan serupa. Subyektivitas dalam proses seleksi ini telah merampas hak para calon dosen potensial untuk memberikan kontribusi terhadap pendidikan di Indonesia. Ini bukan hanya tentang mereka yang memiliki aspirasi untuk mendidik generasi muda Indonesia, namun juga transparansi lembaga pendidikan yang berdampak bagi semua unsur kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun