Sesekali saya keluar rumah pakai masker menyiram dan membelai-belai tanaman hias. Tetapi tak pernah keluar pekarangan.
Saya berpikir negatif. Mungkin dia menganggap kami berdua sedang kejang-kejang dan takut diminta bantuannya. Biasanya asal saya telpon mereka selalu ngangkat. Jika tak terjawab pasti dia ngebel ulang.
- Pintu tetangga tertutup rapatÂ
Lain orang baik satu ini, beda pula tetangga akrab lainnya. Sejak tersiar kabar bahwa kami tertular corona, jendela dan pintunya tertutup rapat.
Biasanya sepanjang hari penghuni rumah itu nongkrong di teras, dan kami sering saling sapa dari jarak jauh. (kurang lebih 25 meter). Posisinya di seberang jalan raya pula.
Sampai hari ini kondisinya masih sama. Saya kangen wajah mereka. Rindu sapaan hangat mereka seperti hari-hari sebelumnya.
Meskipun demikian. Ada juga tetangga yang mensupor. Mereka nelepon kalau kami butuh apa. Beras atau obat-obatan.
Yang ngantar buah dan makanan juga ada. Malah saat dia datang, kami sempat ngobrol seperti biasa. Saya dalam rumah dia di luar pagar. "Kalau butuh apa telepon aja ya!" katanya. Â Wow .... tenang jiwa ini menerimanya.
Salah Sendiri
Sejatinya, kalau kami mengisolasi diri secara diam-diam, tak ada tetangga yang tahu. Tetapi, masalah ini sengaja saya bagikan di sini. Tujuannya untuk mengedukasi warga supaya tidak menganggap covid 19 ini sebagai aib. Â
Ada lho cerita miris yang seharusnya tak perlu terjadi. Usai satu keluarga diisolasi oleh pihak terkait, mereka harus memikul beban sosial. Kemana-mana mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan. Asal ketemu dia, orang-orang menghindar ketakutan. Â Padahal sudah sebulan lebih dia dinyatakan negatif.
Terkait sikap kurang menyanangkan oknum tetangga terhadap kami, saya memaafkannya dari lubuk hati terdalam. Meskipun beliau-beliau itu tak pernah minta maaf. Mereka melakukannya karena ketidakmengertian.