Sekarang di daerah saya dan mungkin juga di tempat anda pohon cengkeh sedang berbunga. Kata cowok gantengku, jika dibanding musim sebelumnya, tahun ini bunga cengkeh miliknya lumayan lebat. Tapi, duitnya tak sewangi bunga cenkeh.
Beberapa tahun terakhir harga jualnya anjlok. Jika punya banyak pohonnya, petani tetap untung. Walaupun tak sementreng keuntungan yang dinikmati petani cengkeh era enam puluhan.
Kami cuman punya beberapa pohon. Maklum, kebun kakek pensiun. Sekadar menyalurkan hobi bercocok tanam. Dari A to Z main upah semua. Kalau dihitung-hitung lebih besar kos untuk kebunnya ketimbang biaya makan dia sendiri.
Dilarang ke kebun dia marah. Katanya pusing hari-hari duduk di rumah. Habis makan ngantuk, terus rebahan. Bangun lagi bobo lagi.
“Kalau tak boleh saya ke kebun, berarti kalian menyuruh saya cepat mati. Saya berkebun sekadar mencari keringat. Bukan cari makan. Melihat tanaman hati saya terhibur,” katanya.
Ya sudah. Pesan anak-anaknya, pulang jangan kesorean, jadwalnya cukup 2 atau 3 kali seminggu saja.
Karena cengkehnya baru belajar berbunga dan pohonnya masih kecil, si kakek menanganinya sendiri. Sampai di rumah, saya membantu bagian merontok.
Aduh... susahnya jadi petani kecil. Duitnya dikit kerja berjibun.
Di kebun kami juga punya beberapa pohon alpukat. Tetapi musuhnya lebih banyak daripada buahnya. Mulai monyet ekor panjang, sampai oknum monyet tanpa ekor berkepala hitam. Sebab, penampungnya ada di setiap desa.