Bagaikan buah simalakama. Dua-duanya tetangga saya. Hati kecil saya berharap, usaha A bisa berlanjut, tanpa menimbulkan konflik dengan B. Silakan bersaing secara sehat, rezeki masing-masing sudah ada yang ngatur.
Setelah A pergi, saya kepikir akan memberikannya pendapat, supaya dia mengubah sistem layanannya menjadi dua paket.
Pertama, paket reguler tetap Rp 20 ribu. Porsinya seperti biasa.
Kedua, paket ampera Rp 15 ribu. Supaya ada kesamaan harga dengan warung B.Â
Di sini perlu kecerdasan untuk mengakali. Misalnya kalau 1 kg daging normalnya potongan 24, sekarang dibikin 25. Pokoknya ciri khas ke-Minangan-nya tetap dipertahankan. Tak apa untungnya tipis yang penting laris.
Sebelum pelanggan belanja, tawarkan terlebih dahulu, mau ampera atau non-ampera. Tempelkan juga tarifnya secara tertulis pada gerobak nasi (etalase).
Ironisnya, nasib sial menimpa saya. Niat untuk memberikannya saran pendapat belum kesampaian, A tak mau lagi menegor. Setiap ketemu saya, dia buang muka duluan.
Mungkin dia tersinggung karena saya membanding-bandingkan tarif dagangannya dengan harga di warung tetangga di Kota Jambi.
Saya malu. Tanpa sadar saya telah kecebur ke dalam urusan orang lain. Padahal, mati-matian saya berusaha netral agar mereka tidak berkonflik. Curhatan keduanya saya tampung sewajar dan seadil-adilnya.
Saya tak habis pikir. Maunya apa? Dia dan A bermusuhan, haruskah saya jadi jemaahnya. Sorry. Selama hidup di rantau, saya berpantang mencari lawan. Terlebih sekarang. Usia sudah mendekati kepala tujuh. Dia baru menginjak 40-an.
Saya ikuti saja iramanya. Mungkin dia panik. Karena usahanya hampir sekarat. Pelanggannya sudah tersedot ke warung milik rivalnya B.