Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Balada Kehidupan Petani Kopi dan Kayu Manis di Bumi Sakti Alam Kerinci

20 Juli 2019   07:36 Diperbarui: 20 Juli 2019   11:59 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi sedang berbuah (kiri). Pohon kayu manis umur 3 tahun. (kanan) |Dokumentasi pribadi.

Kayu manis sedang berdaun muda.| Dokumentasi pribadi.
Kayu manis sedang berdaun muda.| Dokumentasi pribadi.
Tidak berlebihan kalau dikatakan zaman itu sebagian petani lebih senang berdomisili di hutan daripada di kampung. Pasangan baru nikah pun rela pindah ke kebun, meski tidak banyak.

Agar anak-anak petani mendapat pendidikan, di tempat-tempat strategis (daerah perkebunan rakyat) pemerintah membangun gedung-gadung sekolah, yang tenar dengan SD inpres sekalian perumahan guru, lengkap dengan tenaga pendidiknya.

Tak heran bukit-bukit yang melingkari wilayah Kabupaten Kerinci ini nyaris tak ada yang nganggur. Ditanami kopi dan pohon kayu manis. Hijau merona bak permata zamrud, sangat indah dipandang mata.

Petani sedang menguliti kayu manis. Sumber foto: cairofood.id
Petani sedang menguliti kayu manis. Sumber foto: cairofood.id
Bagi petani, panen kayu manis sama dengan membongkar tabungan. Dari uang tersebut mereka membangun rumah, menyekolahkan anak, naik haji, dan memenuhi kebutuhan lain.

Kebahagiaan petani tak lepas dari melangitnya harga kopi dan kayu manis. Tak sia-sia tetesan keringat mereka tercurah ke bumi. Sayangnya, saya tak ingat lagi per kilonya berapa. Daya beli petani tinggi, pasar-pasar tradisional bersinar, pedagang riang. Pada zamannya, rata-rata petani yang mampu membangun rumah bagus dan membeli perabot mahal.

Level kampung, tiada jalan hidup yang membanggakan selain sebagai petani. Sedikit sekali masyarakat yang tertarik menjadi Pegawai Negeri. Bahkan penghasilan PNS diremehkan. "Sebulan gaji guru tak sampai sekilo kopi atau satu kilo kulit ranting kayu manis." Begitu mereka membanggakan diri.

Memang tidak semua masyarakat berpandangan demikian. Setidaknya ada satu atau dua desa di sekitar kecamatan saya yang kebanyakan oknum warganya besar cakap. Karena mereka rajin bertani hasil kebunnya melimpah ruah. Zaman itu, mulai diangkat gaji pokok saya cuma 80% x RP 1,350 = Rp 1.080.

Pernah suami saya dan dua rekannya ditugaskan sebagai pengawas silang EBTANAS. Tempatnya SMP di salah satu desa tersebut.Dua puluh kilometer dari kediaman saya. Zaman itu transportasi belum lancar, motor tiada punya.

Dua penduduk setempat mereka datangi untuk numpang nginap. Dua-duanya menolak. Kesannya cuek seolah-olah mereka tak butuh sosok pendidik (baca: orang berilmu rendah). Anak-anak orang kaya di sana kuliahnya di luar Sumatera.

Kondisi ini berlaku di era 60 sampai awal 90an. Selepas itu, harga kopi dan kayu manis berangsur turun. Masyarakat enggan menanamnya. Kecuali orang yang tangguh dan masih berharap masa mendatang hasil kebunnya dihargai mahal.

Satu persatu petani asal luar daerah kembali ke kampung. SD di daerah perladangan ditinggalkan murid. Perumahan guru hancur menjadi tanah. Gubuk-gubuk ladang tak lagi berpenghuni, tenggelam di tengah tumbuhan liar. Pasar-pasar tumpah tidak lagi melimpah karena sepi pembeli, malahan banyak yang tutup, pedagang lesu dan mati kutu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun