Agar anak-anak petani mendapat pendidikan, di tempat-tempat strategis (daerah perkebunan rakyat) pemerintah membangun gedung-gadung sekolah, yang tenar dengan SD inpres sekalian perumahan guru, lengkap dengan tenaga pendidiknya.
Tak heran bukit-bukit yang melingkari wilayah Kabupaten Kerinci ini nyaris tak ada yang nganggur. Ditanami kopi dan pohon kayu manis. Hijau merona bak permata zamrud, sangat indah dipandang mata.
Kebahagiaan petani tak lepas dari melangitnya harga kopi dan kayu manis. Tak sia-sia tetesan keringat mereka tercurah ke bumi. Sayangnya, saya tak ingat lagi per kilonya berapa. Daya beli petani tinggi, pasar-pasar tradisional bersinar, pedagang riang. Pada zamannya, rata-rata petani yang mampu membangun rumah bagus dan membeli perabot mahal.
Level kampung, tiada jalan hidup yang membanggakan selain sebagai petani. Sedikit sekali masyarakat yang tertarik menjadi Pegawai Negeri. Bahkan penghasilan PNS diremehkan. "Sebulan gaji guru tak sampai sekilo kopi atau satu kilo kulit ranting kayu manis." Begitu mereka membanggakan diri.
Memang tidak semua masyarakat berpandangan demikian. Setidaknya ada satu atau dua desa di sekitar kecamatan saya yang kebanyakan oknum warganya besar cakap. Karena mereka rajin bertani hasil kebunnya melimpah ruah. Zaman itu, mulai diangkat gaji pokok saya cuma 80% x RP 1,350 = Rp 1.080.
Pernah suami saya dan dua rekannya ditugaskan sebagai pengawas silang EBTANAS. Tempatnya SMP di salah satu desa tersebut.Dua puluh kilometer dari kediaman saya. Zaman itu transportasi belum lancar, motor tiada punya.
Dua penduduk setempat mereka datangi untuk numpang nginap. Dua-duanya menolak. Kesannya cuek seolah-olah mereka tak butuh sosok pendidik (baca: orang berilmu rendah). Anak-anak orang kaya di sana kuliahnya di luar Sumatera.
Kondisi ini berlaku di era 60 sampai awal 90an. Selepas itu, harga kopi dan kayu manis berangsur turun. Masyarakat enggan menanamnya. Kecuali orang yang tangguh dan masih berharap masa mendatang hasil kebunnya dihargai mahal.
Satu persatu petani asal luar daerah kembali ke kampung. SD di daerah perladangan ditinggalkan murid. Perumahan guru hancur menjadi tanah. Gubuk-gubuk ladang tak lagi berpenghuni, tenggelam di tengah tumbuhan liar. Pasar-pasar tumpah tidak lagi melimpah karena sepi pembeli, malahan banyak yang tutup, pedagang lesu dan mati kutu.