Saya pernah kesal menerima pengakuan Ratu cucu perempuan saya yang saat itu baru kelas 3 Sekolah Dasar. Di kelas  dia punya  teman cewek suka memusuhinya. "Ada saja kesalahan yang dilemparkannya pada Ratu,"  akunya. "Kadang-kadang dia menggandeng teman-teman lain. Terus cuek, berbisik-bisik lalu matanya  melirik ke Ratu. " tambahnya.Â
Bagi orang  dewasa, menerima perlakuan begini mungkin tidak ngefek apa-apa. "Emang  gue pikirin. Sekali Anda acuh, seribu kali saya tak butuh."
Namun apabila anak-anak usia 9 tahun, waduh, meneteslah  air matanya sampai ke bumi. Apalagi dia anak perempuan. Â
Pasti cucu saya sangat tidak nyaman berada di sekolah tersebut. Rupanya, masalah ini sudah berlaku lama. Mama Ratu (putri saya), sudah memberitahukan kepada Bu Guru kelas 3. Berubahnya sehari dua. Selepas itu gilanya kambuh lagi.
Mungkin Ratu ini malas terlalu sering melibatkan mamanya dalam urusan di kelas, Â dia menyelesaikan dengan caranya sendiri.
Hampir tiap hari dia mentraktir pelaku (pemeras). Sehingga kebutuhan perut dan seleranya sendiri sering terabaikan. Â Apa-apa dikasih, pensil, pena, mainan, ikat rambut, dan apa saja yang pelaku mau, baiknya ketika dia beruntung saja. Selepas itu sikap busuknya kembali berulang. Judulnya, menyiksa diri sendiri untuk menyenangkan orang lain.Â
"Kalau dikasih, dia baek sama Ratu. Habis itu dia jahat lagi." katanya.Â
"Kasih tau mama!"
"Kan udah. Mama tu marahi Ratu. Bilangnya Ratu cengeng." Gadis imud itu berbisik di telinga saya.
Saya kecewa bercampur sedih. Anak mengemukakan masalahnya , bukan ditanggapi dan dibela malah marah.
Saya tak bisa berbuat banyak karena kami berjauhan. Si cucu sekolah dan tinggal di kota Jambi bersama orangtuanya. Saya dan kakeknya berdomisili di daerah kabupaten. Jaraknya  400 kilometer lebih. Palingan saya berkunjung sekali  4 bulan.