Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bualan Tanpa Terstruktur, Sistematis, dan Masif, Cubitnya Sedikit Sakitnya lama

26 Juni 2019   21:03 Diperbarui: 26 Juni 2019   21:20 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : consortiumgck.files.wordpress.com

Mengungkit masa lalu orang lain adalah tabiat tercela. Apalagi dinarasikan dengan cara tidak terstruktur sitematis dan masif (TSM) alias serampangan. Ini bukan Quote motivator bijak. Saya pernah  jadi korbannya. Cubitnya sedikit sakitnya lama.

Saat itu saya berkunjung ke kediaman salah satu keluarga. Sampai disana, saya disambut oleh suami adik sepupu saya yang notabene adalah pemilik rumah. "Eh, Uni! Kapan pulang? Saya masih ingat, dahulu Uni berjualan kangkung."

Dada saya berdesir, tersenyum tapi terasa masam. "Iyo ...." jawab saya sambil mengangguk. Saya  tidak  nyaman dengan pernyataan tersebut. Saya coba bersikap wajar agar wajah saya tampak netral.

Dasar Emak-emak. Mudah baper. Tak ada yang salah dengan pria itu. Deklarasinya jujur, apa adanya. Bukan hoax tidak juga fitnah. Diucapkan oleh seorang  guru SMA bertitel sarjana, sekaligus pengusaha kayu bangunan sukses. Rumahnya bagus.  

Semasa itu lagi maraknya pembalak liar membuat banyak oknum warga setempat kaya mendadak. Lelaki bodoh mendadak pintar, berpoligami menjadi tren terkini oleh pria jelek. Apalagi sosok suami ganteng.

Saya hanya seorang Guru SD Golongan II/d, pendidikan cuma setingkat SLTA. Penghuni kontrakan di rantau orang, dengan gaji jauh dari cukup.

Ironisnya, lima menit kemudian, pria 30 tahun itu pergi. Tinggallah saya, ibu saya dan mertuanya, beserta adik-adik ipar dia.

Saya pikir  dia pasti enak diajak bicara masalah pendidikan. Karena sama-sama pendidik. Lagi pula, 15 tahun dia nenikah kami belum pernah bertatap muka. Saya sering pulang, tetapi tempat tinggalnya dengan orangtua saya berjauhan.

Selama ini hubungan keluarga kami baik-baik saja. Saya bangga adik sepupu saya berjodoh dengan orang terpelajar. Minimal mengubah keturunan. Tahu-tahu, perlakuan ini yang saya terima. Saya kecewa berat.

Saya bukan type pendendam dan meski sering juga marah, tapi tidak berlama-lama.  Ya, sudah. Maklum anak muda yang lagi naik daun. (kelas kampung). Mungkin menurut dia, gaya itu cara terbaik baginya untuk mengaktualisasi diri. "Ini, lho saya. Guru SMA. Tidak seperti Anda. Cari makan hanya mengurus anak ingusan." 

Dua puluh tujuh tahun luka itu berlalu, belum terhapus dari benak saya. Meski sakitnya sudah pupus. Ini pembelajaran bagi kita semua. Supaya berhati-hati mempermainkan lidah.

Saya menolak dicap sombong. Tetapi tidak terima masa lalu saya diungkit-ungkit. Kecuali oleh saya sendiri, dengan tujuan positif dan jelas.  Umpanya untuk memotivasi anak muda agar berpikirnya tidak melempam . Momennya pun tidak sembarangan.

Samasa kecil, saya memang sengsara. Kami  9 bersaudara. Bapak sambung saya pekerja serabutan.  Untuk menyokong ekonomi keluarga, Emak berdagang kecil-kecilan dari pekan ke pekan. Dagangannya bermacam-macam. Mulai dari ikan basah, ikan salai, sampai ke sayur kangkkung  dan apa saja yang bisa menghasilkan uang.

Ababila Emak berhalangan atau lagi banyak kerjaan, sementara barang yang ada tidak bisa disimpan lama, beban tersebut beliau transferkan pada saya. Emak minta saya menjajakannya berkeliling ke kampung luar (daerah pasar).

Inilah ujian terberat bagi saya. Saya malu berjualan. Barangkali pantas disebut tidak berbakat dagang. walaupun Emak membujuk saya dengan lemah lembut, saya tetap tak mau. Karena terus-terusan  menolak, beliau memaksa dan marah.

Andai saya diminta memilih, berjualan atau tidak dikasih makan. Saya pilih alternatif ke dua.  Karena tak ada pilihan, dengan kesal dan tidak ikhlas saya laksanakan juga sabda Emak.

Ini satu lagi bahan renungan bagi para orangtua dan kita semua. Memaksakan kehendak kepada anak-anak membuat si anak jadi tertekan.

Coba bocah-bocah sekarang mengalami tekanan begini, mungkin dia kabur dari rumah. Orangtuanya harus siap-siap menanggung risiko. Diseret ke penjara oleh Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA). Dengan dalil menelantarkan anak.

Era itu, anak-anak kampung saya sangat patuh kepada orangtua.  Kalau bandel dan berani melawan, dimarahi dan tak jarang juga dicubit. Tradisi ini berlaku umum. Filosofi orangtua tak boleh kalah oleh anak-anaknya masih dijunjung tinggi. Bila terlanggar harga diri emak dan bapaklah taruhannya. Keluarga tersebut jadi gunjingan.

Demikian juga tentang kemiskinan. Semasa itu, rata-rata ekonomi orang sekampung sangat memprihatinkan.  Maklum, belasan tahun pasca kemerdekaan. Yang saya kesalkan, Emak lain tak pernah menyuruh anak-anaknya berjualan.

Apakah saya marah dan dendam kepada almarhumah Emak? Ketika itu iya. Setelah dewasa dan mengerti  maknanya kehidupan, saya malah bersyukur. Berkat didikan beliau saya bisa begini. Jadi melioner memang jauh panggang dari api. Minimal saya sudah mampu membawa anak-anak keluar dari garis kemiskinanan akut. 

Ide tulisan ini juga lahir dari rahim kepahitan hidup. Ditopang dua  artikel  ini dan ini, karya kompasianer beken Bapak Tjiptadinata Efendi. Terima kasih, Pak. Tulisan Bapak telah menggugah imajinasi saya.

Setelah tua, Emak sering sedih dan minta maaf. Karena beliau tak sanggup membahagiakan masa kecil saya. Hati saya luluh. Berkali-kali pula saya bilang sama Emak dan adik-adik, bahwa saya tak pernah berkecil hati atas penderitaan yang pernah saya jalani bersama orangtua.

Berlatar inilah Pak Guru SMA tadi mendiskripsikan pernyataannya berbungkus curhat cantik yang menggigit. Mungkin dia khawatir kalau saya ini pribadi yang lupa diri. Orang Kerinci mengaanalogikannya dengan frase "laok lupo tanggok".  (=ikan lupa tangguk. Atau kacang lupa kulit).

Sayangnya bualan tersebut disampaikannya dengan cara tidak terstruktur tidak sistematis dan tidak masif (tidak TSM). Karena pada zamannya istilah TSM  belum membumi di Indonesia. Kontestan pemilu masih bersingasana di kolong langit. He ... he ....

 Orang kampung saya bilang manusia tipe ini, "alun mengango, mangecek alah daulu".  (sebelum menganga mulutnya bicara duluan. Artinya, bicara tidak dengan hati, seenak jidat).  Efeknya bagi lawan bicara, cubitannya  sedikit  sakitnya lama.  Salam kompasiana dari desa.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun