Lebah adalah jenis serangga  yang hidup berkelompok atau kloni. Dari perutnya keluar madu yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia.
Madu lebah mengandung  zat gizi tinggi dibandingkan produk hewan lainnya seperti, susu, telur, daging,mentega dan keju. Wajar, Islam memandang lebah sebagai hewan istimewa. Dalam Al-Quran ia disebut beberapa kali. Di antaranya surat An Nahl ayat 69. Bahkan nama surat an nahl berarti lebah.
Begitu juga dalam Hadist Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam, seperti yang dikutip, m dream.co.id,  27 Desember 2017. Sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin itu seperti lebah,  Memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Hinggap tetapi  tidak merusak.  Keistimewaan lain dari lebah, tidak melukai kecuali dia diganggu.
Di kampung saya, Inderapura, Pesisir selatan sana, setiap pohon yang disarangi lebah ini ada pemiliknya. Padahal, sebagian besar  tumbuhnya di  rimba raya di atas tanah tak bertuan.
Sebagian pohon tersebut warisan dari pendahulu. Lalu bagaimana proses kepemilikannya mulai pokok tersebut disinggahi lebah untuk pertama kalinya? Dengan sangat menyesal saya tidak sempat menanyakan kepada almarhum kakek saya. Beliau sendiri punya beberapa pohon. Yang pasti, aturan begini telah berlaku sejak zaman nenek moyang secara turun temurun. Jangan coba-coba mencuri atau memanen madu tanpa seizin empunya, Â kalau tak mau dikeroyok lebah atau jatuh ke tanah hancur lebur menjadi bubur.
Kata kakek, anggota kru yang  terlibat dalam kegiatan pemanenan madu lebah, terdiri dari beberapa tenaga ahli. Ada spesialis membaca mantra/doa untuk melembutkan hati si lebah agar tidak marah saat terusik, dan mengusir kemungkinan adanya roh jahat yang mengganggu kelancaran kerja.  Ada pula ahli memanjat. Bagian ini termasuk jurusan langka. Hanya orang-orang tertentu yang menguasai kiatnya. Bayangkan! Cuma mengandalkan keahlian dan peralatan seadanya, dia menaiki pohon besar yang tingginya mencapai 40 meter lebih (perkiraan saya).
Habis, zamannya memang begitu. Beda jauh dengan anak-anak sekarang, bahan makanan melimpah ruah. Â Beruntung, saya dan dua teman lainnya tidak ketularan penyakit menahun tersebut. Bahkan sampai saat ini kami bertiga masih hidup dengan kulit mulus-mulus keriput dijilat usia.
Suatu hari saya kena getahnya. Lilinnya baru  sekali kunyah, tiba-tiba rongga mulut saya bagian atas serasa ditusuk ranjau, mendenyut sampai ke pusat syaraf. Dibarengi rasa sakit  sampai ke kepala. Beberapa menit kemudian telinga dan muka saya merah. Sampai di rumah,  wajah sembab, mata menyipit disertai tubuh meriang. Kondisi ini berlangsung selama tiga hari tiga malam.
Rupanya, dalam gumpalan lilin di mulut saya saat itu terdapat sengatan lebah. Yaitu semacam jarum halus  yang masih beracun, meskipun telah terpisah dari raganya. Dalam kondisi hidup, posisinya pada ujung buntut lebah.
Selain lilin, tak kalah lezatnya adalah anak solang. Jika dibahasaIndonesiakan berarti calon anak/telur lebah. Atau yang lebih dikenal dengan Larva (yang masih muda). Tetapi jarang ketemu. Paling nyangkut satu atau dua biji dalam limbah lilin kualitas jelek alias tak layak dikonsumsi. Kami dapat mencicipi jika dikasih tuan rumah setelah menjadi palai (pepes).
Pernah juga ngiler berat. Ketika tiba di rumah Mak Rama, perempuan setengah baya itu sedang memasak wajik. Tentu  kita semua kenal penganan yang bernama wajik. Barangkali di setiap daerah namanya berbeda.
Biasanya kue tersebut terbuat dari beras ketan kukus, ditambah santan bercampur gula yang sudah dipanaskan sampai kental. Mak Rama menggantikan ketan kukusnya dengan larva. Madu sebagai pemanisnya. Judulnya, wajik anak solang.
Puas mengunyah lilin, ditunggu-tunggu tiada tanda-tanda akan dapat jatah. Akhirnya kami pulang dengan air liur meleleh. Sampai saat ini saya belum pernah mengecap bagaimana rasanya wajik anak solang tersebut.
Tiga puluh tujuh tahun terakhir, pohon sarang lebah mulai langka. Seiring berubahnya wajah perhutanan menjadi kebun kelapa sawit. Ikon Inderapura sebagai penghasil lebah madu kualitas terbaik, kini telah redup. Syukur-syukur beralih julukan menjadi negeri produsen sawit. Sayang, sawitnya milik peusahaan besar, bukan punya rakyat jelata.
Sampai artikel ini ditulis, di kampung saya belum ditemui lebah ternak yang hidup berdampingan dengan manusia seperti di Sulawesi, Jawa, Madura, dan daerah lain di Indonesia.Â
Demikian sekilas pengalaman masa kecil saat berdekatan dengan pemilik pohon lebah. Betul kata orang tua-tua, berteman dengan penjual parfum, ketularan wanginya. Bertetangga dengan pemilik lebah, ketularan pula manis madunya. Semoga inspiratif.
 ***                                                        Â
Simpang Empat, 05062018
Penulis,
Hj. Nursini Rais.