Pada hari rabu tanggal 10 September 2025, dimana kedua kali nya saya mengikuti mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang di ampu oleh pa dosen yang bernama Bapak Drs. Study Rizal LK, MA .Â
Kali ini saya akan membuat Tugas Catatan Mingguan mata kuliah yang di ambil dari artikel beliau yang berjudul--> Tabola Bale: Dari Lirik Lokal ke Ruang Publik Nasional
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tabola Bale: Dari Lirik Lokal ke Ruang Publik Nasional", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/studyrizallk6810/68be624dc925c41abf4434f7/tabola-bale-dari-lirik-lokal-ke-ruang-publik-nasional?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Desktop
Kreator: Study Rizal L. Kontu
Kalian pasti tau kan lagu Tabola bale yang akhir akhir ini lagi viral itu??, nah lagu Tabola Bale itu kan dibuka dengan ungkapan sederhana dari bahasa daerah Nusa Tenggara Timur: "Lia ade nona makin gaga bikin kaka jadi suka. Â Dulu ade rambu kepang dua sekarang rambu mera mera.Â
Liriknya kayak obrolan santai yang ringan tapi kena. Bahasa daerahnya terasa akrab, ditambah campuran bahasa Indonesia dan sedikit nuansa Minang... jadi makin cair. Lagu ini bukan cuma soal cinta, tapi juga tentang keceriaan, tentang keberagaman yang terasa akrab. Lagu ini awalnya lahir dari ekspresi lokal anak muda Timur diangkat menjadi simbol kebersamaan nasional. Pas lagu ini dinyanyikan di Istana Merdeka, suasana sakral yang biasanya penuh tata protokol tiba-tiba berubah gitu jadi ruang publik yang cair. Presiden, pejabat negara, aparat, sampe tamu undangan pun gak kuat menahan diri untuk berjoget.Â
Negara, dengan menampilkan Tabola Bale di jantung kekuasaannya, seolah hendak mengatakan: inilah wajah Indonesia yang bahagia, inklusif, dan penuh energi muda.Â
Tapi yaa, di balik itu semua... aku jadi mikir juga.
Kita boleh bangga lagu ini tembus istana, tapi jangan lupa tanya juga: gimana kabar orang-orang Timur yang lagunya kita jogetin itu? Apakah mereka juga ikut bahagia? Atau kita cuma ngambil euforianya, tanpa benar-benar denger suara mereka?. Karena kadang tuh, budaya emang sering banget dirayain... tapi kenyataan hidup orang-orang di balik budaya itu malah nggak berubah banyak. Simbol kebersamaan boleh ada, tapi kalau yang di pelosok masih kesusahan air, pendidikan, kerjaan... ya kebersamaannya belum utuh, kan?.
Di sisi lain... anak-anak Timur sekarang nggak lagi cuma jadi pelengkap. Mereka ada di pusat perhatian. Mereka buktiin kalau kreativitas dari daerah bisa banget bikin seluruh Indonesia ikut goyang. Dari situ aku belajar satu hal penting: musik tuh bisa banget jadi bahasa politik. Politik yang hadir lewat tawa, gerakan, dan energi bersama. Lewat lagu yang ringan, tapi maknanya dalem.
Kebahagiaan Indonesia gak boleh berhenti di lantai dansa istana. Harus terus jalan---sampai ke rumah-rumah kecil di pinggiran, tempat lagu ini lahir pertama kali. Biar semua bisa ikut joget, bukan cuma karena musiknya enak, tapi karena hidup mereka juga ikut membaik.Â
"Joget boleh rame, tapi jangan lupa siapa yang belum ikut tertawa." Â hehe :)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI