Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kelak Tuhan Bertanya kepada Kita

30 Mei 2020   16:17 Diperbarui: 30 Mei 2020   16:07 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dhuafa/Sumber: baznasjabar.org

Kini Lebaran. 

Ramadhan telah berakhir sepekan silam. Namun banyak pelajaran yang ditinggalkan. Antara lain, pelajaran keikhlasan untuk rela berbagi kepada sesama. Terlebih di saat pandemi ketika jumlah kaum miskin dan dhuafa cenderung bertambah.

Di kantor, ada grup donasi khusus untuk kalangan dhuafa terdampak COVID-19 yang saya ikuti. Demikian juga kesibukan penggalangan dana santunan yatim dan dhuafa di grup alumni SMA dan perguruan tinggi. Alhamdulillah, badai pandemi tidak sukses membuat empati menepi. 

Ada banyak sekali dhuafa yang menanti uluran tangan kita, kendati mereka tidak meminta.

Salah satunya adalah Mamah Uti, demikian janda tua miskin yang berdomisili di Pancoran, Jaksel tersebut, biasa dipanggil. Ia hidup dengan modal belas kasihan tetangga di lingkungan sekitar rumahnya. 

Dengan keterbatasan usia, harta, pendidikan, kemampuan, ia berjuang menghidupi dirinya dan puterinya (Uti) yang mengidap keterbelakangan mental. Konon, sewaktu kecil, Uti yang lahir sehat dan normal mengalami kecelakaan terjatuh sewaktu digendong pengasuhnya semasa balita yang kemudian berakibat pada kecacatannya hingga kini.

Mamah Uti tak mau mengemis atau sekadar berpangku tangan menanti derma dari para dermawan yang tak tentu hasil atau kedatangannya. Ia berjualan apa saja, berkeliling pada para tetangga di lingkungan sekitarnya demi sesuap nasi kendati hasilnya tak seberapa atau bahkan tak dapat apa-apa.

Baca Juga: Terbit Pandemi, Haruskah Empati Menepi?

Bagi kita, baju, taplak, kue atau barang-barang sederhana yang dijual Mamah Uti mungkin terlihat biasa. Tetapi, bagi Mamah Uti, barang-barang itulah penyambung hidupnya dan anak terkasihnya.

Jika kita tak segan merogoh kocek ratusan ribu atau bahkan ratusan juta untuk koleksi tas kita yang sekian puluh banyaknya; jika kita rela membayar ratusan ribu untuk sekadar dua cangkir kopi pagi, dan jika kita santai saja melahap makanan cepat saji yang nilainya seminggu uang belanja Mamah Uti, mungkin kelak Tuhan akan bertanya kepada kita, "Kenapa engkau berat membelanjakan hartamu untuk orang tak berpunya?"

Mamah Uti, sebagaimana juga jutaan dhuafa di negeri kita, tak mengemis dan tak minta dikasihani. Tapi kitalah yang sebenarnya layak dikasihani jika tak sanggup berbagi walau segelintir saja dari rejeki Tuhan yang diamanatkan kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun