Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tegal yang Menginspirasi "Lockdown" Nasional

29 Maret 2020   17:05 Diperbarui: 30 Maret 2020   06:15 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo/Sumber: teropongsenayan.com

Jika pun tidak demikian, hal itu juga dapat dibaca sebagai ekspresi komitmen kerakyatan seorang Ganjar Pranowo yang mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sayap mahasiswa dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno, yang kental dengan ideologi sosial kerakyatan Marhaenisme.

Alhasil, jika Tegal Lockdown sah secara hukum, demikian juga jika sekiranya kelak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeksekusi wacana karantina lokal atas Jakarta (Jakarta Lockdown) seiring semakin parahnya penyebaran COVID-19 di wilayah kekuasaannya tersebut. Itu juga suatu hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Akan tetapi, terkait status DKI Jakarta sebagai ibu kota negara yang sedikit banyak bersinggungan dengan domain kewenangan pemerintah pusat, tentulah tak bakal sesederhana apa yang dilakukan Kota Tegal. Namun, sekali lagi, Jakarta Lockdown jelas sah dan punya legitimasi dasar hukum yang tak bisa dinafikan oleh pemerintah pusat.

Dan ketegasan Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono untuk melakukan Tegal Lockdown dengan pernyataan heroiknya bahwa “lebih baik dibenci daripada maut menjemput warga” jelas dapat menginspirasi kota-kota lain untuk melakukan hal serupa demi kemaslahatan warga kota mereka masing-masing.

Sebetulnya, terkait local lockdown, Kota Tegal bukanlah yang pertama. Dari catatan CNN Indonesia, sudah ada beberapa daerah yang mewacanakan local lockdown atau karantina lokal. Antara lain Papua, Kalimantan Timur, Aceh, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bahkan Kota Solo, yang merupakan kota asal Presiden Jokowi, per 13 Maret 2020 menyatakan status Kejadian Luar Biasa (KLB), yang diistilahkan oleh Wali Kota Solo Hadi Rudyatmo sebagai semi-lockdown, berupa penutupan sekolah atau lembaga pendidikan selama 14 hari; penutupan destinasi wisata; pelarangan acara terbuka dengan jumlah massa besar, dan pembatalan acara Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau Car Free Day (CFD).

Pernyataan sikap Hadi Rudyatmo juga tak kalah tegas. “Mending saya disalahkan orang waras daripada disalahkan orang sakit,” ujar mantan Wakil Wali Kota Solo di era Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Solo tersebut.

Kendati, dalam pandangan UU No. 6 Tahun 2018, sejatinya apa yang dilakukan Kota Solo itu lebih merupakan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (Social Distancing) alih-alih Local Lockdown, karena tidak sampai membatasi atau menutup akses keluar masuk kota.

Menurut Pasal 1 UU No. 6 Tahun 2018, definisi “Pembatasan Sosial Berskala Besar” adalah “pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”.

Apa pun itu, komitmen dan ketegasan para kepala daerah tersebut patut diapresiasi setinggi-tingginya. Jika pimpinan nasional atau pemerintah pusat terlihat gamang menetapkan status lockdown atau karantina wilayah secara nasional dengan pertimbangan ekonomi, misalnya, tentu dapat dimaklumi dan sah-sah saja jika daerah-daerah yang lebih dulu bergerak atau berinisiatif sendiri melakukan local lockdown di wilayahnya masing-masing selama ada celah hukum yang memungkinkan.

Dalam konteks strategis, inilah implementasi teori “desa mengepung kota” (DMK), yang diperkenalkan oleh Mao Tse Tung atau Mao Zedong, sang pemimpin Revolusi China pada 1920-an. Belakangan istilahnya diperhalus dan dilokalkan sebagai teori “makan bubur panas”, dimulai dari pinggiran yang kemudian meluas ke tengah atau bagian pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun