Mohon tunggu...
nur patimah
nur patimah Mohon Tunggu... Universitas Hasanuddin

“Justice requires that everyone should have enough to eat. But it also requires that everyone should contribute to the production of food.” - Elias Canetti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paradoks Indonesia: Negeri Kaya Pangan Lokal yang Menyisahkan Krisis Gizi Balita

25 September 2025   14:37 Diperbarui: 25 September 2025   14:37 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

ILUSTRASI. Anak Indonesia Bersama Pangan Lokal (Sumber: UNICEF 2021)

Indonesia dikenal sebagai negara tropis yang subur dengan kekayaan hayati melimpah. Kondisi geografis ini menjadikannya negara maritim dengan hasil laut berlimpah sekaligus negara agraris dengan sektor pertanian yang kuat. Kekayaan pangan lokalnya sangat tinggi, mulai dari sagu, umbi-umbian, ikan, kacang-kacangan, hingga berbagai sayuran. Namun, fakta ironis muncul: di tengah melimpahnya sumber pangan, balita di Indonesia masih menghadapi krisis gizi. Namun, pertanyaan penting muncul: mengapa di tengah melimpahnya sumber pangan, balita di Indonesia masih menghadapi krisis gizi?

Potret Masalah Gizi Balita dan Dampaknya

Masalah gizi pada balita di Indonesia masih sangat tinggi. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan prevalensi stunting, yaitu gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, mencapai 19,8% pada tahun 2024 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2025). Sementara itu, prevalensi wasting, masalah gizi akut akibat berat badan yang terlalu rendah, sebanyak 7,7% pada tahun 2022 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2023). Kondisi ini bukan sekadar persoalan berat badan, melainkan ancaman nyata bagi masa depan bangsa. Anak dengan gizi buruk cenderung mengalami gangguan pertumbuhan, perkembangan otak, serta kerentanan terhadap penyakit infeksi. Kekurangan gizi kronis bahkan meningkatkan risiko penyakit tidak menular di masa dewasa, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan (UNICEF, 2019).

Tiga Akar Penyebab Utama: Mengapa Sumber Pangan Lokal Gagal Sampai?

Untuk memahami paradoks ini, kita perlu melihat lebih jauh ke akar masalahnya. Menurut kerangka UNICEF, penyebab masalah gizi tidak hanya langsung (asupan gizi dan penyakit infeksi) tetapi juga tidak langsung. Di Indonesia, faktor tidak langsung inilah yang menjadi kunci persoalan, terdiri dari:

  • Tantangan Distribusi dan Infrastruktur Logistik: Meskipun pangan tersedia, akses terhadap pangan masih tidak merata. Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi hambatan besar dalam menyalurkan hasil panen dari daerah produksi ke wilayah yang membutuhkan, terutama di pelosok. Infrastruktur jalan yang belum memadai, biaya transportasi yang mahal, serta rantai pasok yang panjang membuat harga pangan lokal bergizi menjadi tidak terjangkau di banyak daerah ((Nuraisyah et al., 2025)). Ini selaras dengan UU No. 18 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa kesulitan distribusi adalah salah satu penyebab persoalan pangan. Dibanding mengonsumsi pangan lokal, masyarakat lebih memilih mengonsumsi produk pangan instan dengan nilai gizi rendah.
  • Isu Sosial-Ekonomi dan Rendahnya Literasi Gizi: Kemiskinan masih menjadi faktor utama yang membatasi akses rumah tangga terhadap pangan bergizi. Keluarga dengan pendapatan rendah sering kali terpaksa memilih makanan yang murah dan mengenyangkan, seperti mi instan atau nasi dengan sedikit lauk, daripada pangan lokal yang lebih kaya nutrisi. Lebih dari itu, rendahnya pengetahuan orang tua, terutama ibu, tentang gizi seimbang dan pentingnya diversifikasi pangan juga memainkan peran krusial(Fauziah et al., 2025). Pola asuh yang keliru dan kurangnya pemahaman tentang pemanfaatan bahan pangan lokal secara optimal menyebabkan anak tidak mendapatkan asupan gizi yang dibutuhkan.
  • Kurangnya Efektivitas Kebijakan dan Program Pemerintah: Pemerintah telah meluncurkan berbagai program percepatan penurunan stunting, seperti revitalisasi Posyandu dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan serius. Program-program ini sering kali tidak berkesinambungan dan terbatas partisipasinya (Maliati, 2023). Kurangnya koordinasi lintas sektor antara kementerian dan lembaga terkait, alokasi anggaran yang belum optimal, serta pendekatan yang cenderung top-down membuat program tersebut sulit beradaptasi dengan kondisi lokal yang spesifik. Akibatnya, intervensi yang diberikan belum mampu menjangkau seluruh masyarakat yang membutuhkan.

Jalan Keluar untuk Mengakhiri Paradoks

Untuk mengakhiri paradoks ini, solusi tidak bisa hanya berfokus pada produksi, tetapi juga pada penguatan seluruh ekosistem pangan dan gizi. Pendidikan gizi kepada masyarakat perlu diperkuat melalui kampanye masif di berbagai media serta melalui lembaga seperti Posyandu dan sekolah. Selain itu, distribusi pangan perlu diperbaiki dengan memperkuat rantai pasok dan mendukung petani serta nelayan lokal melalui teknologi dan akses pasar, sementara layanan kesehatan ibu dan anak harus diperkuat dengan peran posyandu dan fasilitas yang lebih responsif. Pemerintah juga berperan penting dengan merancang kebijakan lintas sektor yang berkelanjutan, seperti insentif produksi pangan lokal, integrasi program gizi dengan sanitasi dan pendidikan, serta evaluasi berkala agar dapat menjadi program berkelanjutan. Dengan langkah tersebut, kekayaan pangan Indonesia dapat benar-benar dimanfaatkan untuk menghapus krisis gizi balita dan melahirkan generasi yang sehat serta produktif (Arifin et al., 2025).

Pada akhirnya, krisis gizi balita di Indonesia adalah cerminan dari kompleksitas masalah yang melampaui ketersediaan pangan semata. Paradoks ini berakar pada tantangan distribusi, isu sosial-ekonomi, dan kesenjangan implementasi kebijakan. Dengan mengatasi akar masalah ini secara terintegrasi dan berkelanjutan, kita dapat menciptakan masa depan di mana kekayaan pangan Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk mencetak generasi yang lebih sehat, cerdas, dan produktif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun