Mohon tunggu...
Nurohmat
Nurohmat Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Pecinta Literasi dan Pendaki Hikmah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fugit Hora

21 Maret 2021   08:37 Diperbarui: 21 Maret 2021   09:01 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fugit Hora
Oleh : Nurohmat

Fugit hora, waktu terus berlalu, terasa cepat bergerak,  terkadang ia meninggalkan kita seolah tanpa jejak,  sementara kita masih saja terpana dengan sesuatu yang terkadang tiada guna. Masih hangat dalam ingatan saat -saat masa kecil dulu, saat mengaji dan bersekolah kemudian menginjak masa remaja, berlanjut dewasa, bekerja, menikah, dan kini punya anak dan menjadi orang tua.

Pada saat tertentu,  masa lalu kerap hadir dalam mimpi, mimpi saat masih sekolah dan kuliah,  mimpi bertemu almarhum ibu,  bahkan mimpi suasana kampung saya sekira tahun 1950-an padahal saya lahir tahun 1980-an, unik kan? Mimpi kerap kali meneropong masa silam dan masa depan. Saya ingat betul, sebelum saya menikah, saya pernah bermimpi melihat dua anak laki-laki dan dalam mimpi itu kedua anak laki-laki tersebut berstatus anak saya. 

Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan, saat ini saya dipercaya memiliki dua anak laki-laki. Terkadang ketika menghadapi masalah yang pelik, saya kerap menjumpai si "pembisik" dalam mimpi yang memberi alternatif solusi. Tentu tidak semua mimpi yang saya alami seunik yang diceritakan itu. Banyak juga mimpi-mimpi yang berlalu begitu saja layaknya bunga tidur pada umumnya.

Jujur harus diakui mimpi kerap menghadirkan prediksi dan retrospeksi seolah tidak ada pemisahan waktu antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.  Namun demikian, kita juga tidak sepenuhnya mengandalkan mimpi sebagai sesuatu yang menjadi landasan pengambilan keputusan dalam hidup. Bagi saya mimpi adalah suatu kondisi unik yang terkadang sangat rekreatif, kadang juga membutuhkan refleksi agar kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi, lebih banyak menebar manfaat untuk sesama.

Fugit hora, waktu memang cepat berlalu. Sebanyak apapun  nasehat dalam kitab suci tentang waktu, nasehat itu akan sulit masuk ke dalam kalbu jika kita tidak bisa meluangkan waktu untuk merefleksikan diri. Semua nikmat atas waktu yang diberikan dan kesehatan yang dirasakan, seolah biasa-biasa saja, karena sudah menjadi bagian keseharian dari diri kita. Namun jika kita sudah tidak punya waktu luang lagi dan tidak sehat lagi, baru kita menyadari bahwa  keduanya adalah sangat berharga.

Fugit hora, waktu terus berjalan. Kita akan ditinggalkan atau kita sendiri yang meninggalkan. Kebersamaan dengan orang-orang tercinta, keluarga, kerabat, dan sahabat begitu berharga. Meninggalkan jejak kebaikan untuk mereka mesti kita upayakan semaksimal mungkin yang kita bisa, selagi masih ada waktu karena sejatinya waktu sangat cepat berlalu, melesat menjauh.

Inilah yang dimaksud oleh Imam Ghazali ketika ia bertanya kepada muridnya, apakah yang paling jauh ? Tak ada satupun jawaban yang tepat yang diungkapkan oleh muridnya. Menurut Al Ghazali, yang paling jauh adalah masa lalu, karena ia terus melesat menjauhi kita. Lalu apakah yang paling dekat dengan kita ? Tak ada jawaban tepat dari muridnya  yang dikehendaki oleh Al Ghazali. Menurut Al Ghazali yang paling dekat dan terus mendekati kita adalah kematian.  Fugit Hora, waktu sangat cepat berlalu.

Cirebon, 21 Maret 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun