Dosen Pengampu: A. Muh. Ali, S.Pd., M.Pd
Di balik dinamika zaman yang bergerak serba cepat, terdapat sekelompok anak muda yang tumbuh dalam pusaran ketidakpastian generasi muda Indonesia. Mereka lahir di masa ketika teknologi menguasai dunia, informasi mengalir tanpa henti, dan berbagai tantangan hadir silih berganti. Dunia hari ini tidak memberi ruang untuk sekadar bertahan; ia menuntut keberanian untuk beradaptasi, melangkah, dan mengambil peran. Maka, pembicaraan mengenai generasi tangguh bukanlah sekadar idealisme belaka, melainkan kebutuhan nyata bagi kelangsungan bangsa ini.
Generasi tangguh adalah mereka yang tidak hanya mampu bertahan di tengah kesulitan, tetapi juga mampu menyusun langkah dan gagasan untuk menghadapi tantangan-tantangan besar di sekitarnya. Di negeri yang penuh potensi namun masih berjuang menyelesaikan banyak pekerjaan rumah, seperti krisis pendidikan, kesehatan yang belum merata, serta ancaman bencana alam yang terus membayangi, ketangguhan bukanlah pilihan melainkan keniscayaan.
Pendidikan menjadi salah satu medan perjuangan paling awal yang harus dihadapi oleh generasi muda. Meskipun angka partisipasi sekolah meningkat dari tahun ke tahun, kualitas pendidikan di banyak tempat masih tertinggal. Di sudut-sudut terpencil negeri ini, masih ada anak-anak yang menempuh puluhan kilometer demi bisa belajar. Ruang kelas yang reyot, buku-buku yang usang, dan guru yang datang seminggu sekali menjadi kenyataan yang ironis di tengah gembar-gembor digitalisasi pendidikan. Namun, masalah pendidikan tidak berhenti pada persoalan fisik atau akses. Di kota besar sekalipun, anak-anak kita kerap terjebak dalam sistem yang menekankan hafalan dan pencapaian angka, bukan pengembangan pemikiran dan karakter. Mereka diajarkan rumus, tetapi tidak diajak bertanya. Mereka dilatih menjawab soal, tetapi tidak dibiasakan memecahkan masalah kehidupan. Padahal, di dunia nyata, tantangan datang tanpa kunci jawaban.
Sementara di sisi lain, tekanan mental dan fisik menghimpit generasi ini. Kesehatan menjadi tantangan berikutnya yang tak kalah pelik. Banyak anak muda yang tumbuh dalam bayang-bayang tuntutan sosial, ekspektasi akademik, dan paparan media sosial yang mengglorifikasi kesempurnaan. Tak sedikit dari mereka yang merasa gagal hanya karena tidak memenuhi standar yang dibentuk oleh algoritma, bukan oleh akal sehat. Kesehatan mental pun menjadi isu yang nyata dan mendesak. Sayangnya, masih banyak ruang yang belum ramah untuk mereka yang ingin bicara atau mencari bantuan. Di lingkungan keluarga, sering kali perasaan diabaikan. Di sekolah, ruang diskusi tentang perasaan kerap dianggap tidak penting. Bahkan dalam masyarakat, masih terlalu banyak stigma yang melekat pada mereka yang berani mengakui bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Selain tekanan batin, gaya hidup modern yang serba cepat juga membawa tantangan pada kesehatan fisik generasi muda. Makanan cepat saji, kurangnya aktivitas fisik, serta kebiasaan begadang menjadi pola hidup yang diam-diam merusak. Ketika tubuh lelah dan pikiran penat, produktivitas pun ikut menurun. Tanpa kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara tubuh dan jiwa, generasi muda akan lebih rentan tumbang di tengah tantangan yang kian berat.
Namun tantangan paling mendalam yang sering kali diabaikan adalah ancaman bencana alam dan krisis iklim. Indonesia adalah negeri yang rawan bencana. Setiap tahun, kita berhadapan dengan banjir, longsor, gempa, kebakaran hutan, hingga kekeringan. Ribuan anak muda menjadi korban langsung, kehilangan tempat tinggal, sekolah, bahkan anggota keluarga. Ironisnya, pendidikan kebencanaan belum menjadi bagian dari sistem pendidikan formal. Banyak anak muda yang tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana datang. Mereka tidak dibekali keterampilan menghadapi kondisi darurat, padahal mereka adalah kelompok yang paling terdampak. Selain itu, kesadaran akan perubahan iklim juga masih rendah. Padahal, krisis lingkungan akan menjadi tantangan terbesar bagi generasi mereka dan generasi berikutnya.
Di tengah kondisi ini, kita melihat dua pilihan: membiarkan generasi muda tumbuh sendiri di tengah kekacauan, atau hadir dan menciptakan ekosistem yang mendukung tumbuhnya ketangguhan. Tentu kita memilih yang kedua. Tapi menciptakan generasi tangguh tidak bisa hanya lewat pidato, slogan, atau kurikulum. Ia membutuhkan aksi nyata yang terukur dan berkelanjutan. Sekolah harus menjadi ruang yang aman dan menyenangkan. Keluarga harus menjadi tempat pertama yang menumbuhkan rasa percaya diri dan empati. Pemerintah harus menghadirkan kebijakan yang berpihak pada anak muda. Dan masyarakat harus menghentikan sikap meremehkan suara dan inisiatif mereka.
Sebab sesungguhnya, kita tidak kekurangan anak muda yang tangguh. Kita hanya kekurangan ruang dan kepercayaan. Ada banyak anak muda yang diam-diam membangun komunitas belajar di desanya, yang menjadi relawan di lokasi bencana, yang membuat kampanye kesehatan mental di media sosial, atau yang mengembangkan solusi sederhana untuk mengatasi masalah air bersih di kampungnya. Mereka tidak menunggu perintah. Mereka tidak meminta panggung. Mereka hanya butuh didukung, disemangati, dan dipercaya.