Mohon tunggu...
merpati
merpati Mohon Tunggu... Mahasiswa

menulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy

TB Resisten Obat, Ancaman Senyap yang Lebih Mematikan: Deteksi Dini dan Kepatuhan adalah Kunci

13 Juni 2025   21:40 Diperbarui: 13 Juni 2025   21:21 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generated by OpenAI

Di balik geliat kemajuan teknologi medis dan pencapaian sistem kesehatan global, masih ada satu penyakit yang diam-diam menjadi ancaman paling serius dari penyakit yang selama ini terdengar “klasik”. Tuberkulosis Resisten Obat (TB RO), bukan penyakit baru tetapi wajah lama dengan tantangan yang jauh lebih rumit dan mengancam. Jika Tuberkulosis biasa sudah menjadi isu serius, maka TB RO adalah alarm keras yang menandakan bahwa kita tengah berada di ambang krisis kesehatan yang lebih dalam — dan sayangnya, belum cukup disadari oleh banyak orang.

Menurut Global Tuberculosis Report 2024 dari WHO, dunia mencatat 10,8 juta kasus baru TB pada 2023. Indonesia — negara yang kita cintai ini — menempati peringkat kedua tertinggi di dunia, menyumbang sekitar 10% dari total kasus global. Namun angka ini bukan sekadar statistik. Ia mencerminkan ribuan wajah, kehidupan yang tertunda, dan masa depan yang digantungkan pada keberhasilan terapi yang panjang dan berat.

Yang lebih memprihatinkan, sekitar 30.000 kasus TB RO tercatat di Indonesia. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 68% yang berhasil memulai pengobatan, dan lebih sedikit lagi — hanya 58% — yang dinyatakan sembuh. Ini bukan sekadar kegagalan sistem kesehatan, tapi juga potret utuh dari kompleksitas persoalan yang menyertai penyakit ini: dari keterbatasan deteksi, beban psikososial pasien, hingga ketidakmerataan layanan.

TB RO, atau lebih spesifiknya MDR-TB (Multi Drug Resistant) dan XDR-TB (Extensively Drug Resistant), adalah bentuk mutakhir dari TBC yang telah kehilangan sensitivitas terhadap obat-obatan lini pertama. Jika TBC biasa bisa disembuhkan dengan empat obat selama enam bulan, maka TB RO membutuhkan setidaknya lima jenis obat yang dikonsumsi selama 18 hingga 24 bulan — sering kali disertai efek samping yang melemahkan fisik dan mental.

Pengobatan yang lebih panjang ini menguras energi pasien — bukan hanya secara biologis, tetapi juga secara sosial dan ekonomi. Banyak pasien akhirnya menyerah di tengah jalan. Dan di situlah persoalan kepatuhan menjadi simpul utama.

Kepatuhan: Masalah Personal atau Sistemik?

Sebagai mahasiswa yang mendalami ilmu kesehatan masyarakat, saya belajar bahwa ketidakpatuhan pasien terhadap terapi TB RO bukan semata soal disiplin pribadi. Ia adalah hasil akumulasi dari banyak variabel: mulai dari efek samping obat, minimnya pendampingan psikologis, kendala transportasi ke fasilitas kesehatan, hingga stigma sosial yang melekat pada penyakit ini. Ironisnya, masyarakat cenderung menyalahkan pasien. Padahal, bagaimana mungkin seseorang bisa patuh jika sistem tak memberi ruang yang ramah untuk sembuh?

Pemerintah Indonesia, melalui strategi nasional penanggulangan TB, sebenarnya telah mengambil langkah besar. Pemeriksaan menggunakan Tes Cepat Molekuler (TCM) diperluas, rejimen pengobatan yang lebih singkat dan berbasis oral diperkenalkan, dan sistem pelacakan kasus semakin diperkuat.

Di beberapa daerah, seperti Kota Makassar, pendekatan yang berbasis komunitas mulai dijalankan. Kader kesehatan dilibatkan dalam pelacakan kasus, skrining, hingga pendampingan pasien. Namun, implementasi di lapangan masih menemui banyak tantangan — utamanya dalam soal kesinambungan, pendanaan, dan integrasi lintas sektor.

Jika boleh jujur, kita tak bisa lagi bersandar hanya pada intervensi kuratif. Deteksi dini dan kepatuhan terhadap terapi harus menjadi dua fondasi utama dalam pengendalian TB RO. Keduanya hanya akan berhasil jika kita mulai memandang pengobatan sebagai proses kolaboratif antara pasien, tenaga kesehatan, keluarga, dan komunitas.

TB Resisten Obat bukan hanya soal penyakit. Ia adalah cermin dari bagaimana sistem, masyarakat, dan individu berinteraksi. Ketika deteksi dini kita abaikan dan kepatuhan kita remehkan, maka kita sedang membuka pintu bagi ancaman yang jauh lebih besar: kegagalan kolektif.

Mencegah dan mengendalikan TB RO adalah tugas kita semua — bukan hanya tenaga medis, bukan hanya pemerintah, tapi juga saya, Anda, dan siapa pun yang peduli pada kesehatan dan kemanusiaan.

Karena pada akhirnya, kepatuhan bukan sekadar pilihan medis, tetapi juga pilihan moral.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun