Mohon tunggu...
Nurmansyah
Nurmansyah Mohon Tunggu... profesional -

Orang biasa yang berusaha untuk selalu bersikap jujur dalam bertindak, berkata-kata dan berpikir. Mencoba untuk bekerja tanpa terikat dengan hasilnya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

KPK Memojokan Presiden

16 Januari 2015   16:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:01 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komisaris Jenderalh Budi Gunawan

Komisaris Jenderalh Budi Gunawan Sumber:  www.duajurai.com/politik/pdi-perjuangan-tegaskan-budi-gunawan-bukan-tim-sukses-pilpres/

Peliknya pengangkatan BG sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi, yang kita amati terakhir ini kuncinya ada pada tindakan KPK yang tiba-tiba memberikan status tersangka kepada KomJen BG, saat yang bersangkutan sedang di “fit and proper” oleh DPR.  Tindakan KPK sudah tentu banyak menimbulkan pertanyaan, apakah KPK sebenarnya sedang melakukan sebuah permainan politik?  Hal ini kalau ditanyakan pada Komisaris KPK sudah barang tentu akan membantahnya, dengan mengatakan bahwa penetapan tersangka BG hanyalah sebuah kebetulan belaka waktunya dengan jadwal “fit and proper” tadi.  Bagi banyak orang hal ini adalah sebuah kebetulan yang amat langka.

Presiden Jokowi mengajukan KomJen BG sebagai calon Kapolri, sudah barang tentu melalui suatu kajian yang mendalam.  Kompolnas memberikan hasil kajian itu kepada Presiden yang juga sudah mempertimbangkan soal isu rekening gendut.  Surat resmi Kabareskrim sudah menyatakan bahwa Komjend BG “clean and clear”.  Dugaan saya hal inilah yang menjadi pertimbangan keputusan Presiden untuk memilih BG sebagai calon tunggal, apalagi BG merupakan orang dekat dari partai pendukungnya.

KPK beralasan sudah pernah memberikan “stabilo merah” untuk BG saat diajukan sebagai calon menteri, lalu kenapa Presiden tetap ngotot mengajukan BG sebagai calon Kapolri.  KPK lupa bahwa saat mangajukan BG sebagai calon menteri, tidak ada informasi lain sebagai pembanding.  Lagi pula tanda “stabilo merah” bukanlah satu-satunya pertimbangan untuk memilih atau tidak memilih seseorang. Tanda hanya sebagai indikator bahwa yang bersangkutan dicurigai melakukan tindak pidana korupsi.  Lagi pula KPK bukanlah lembaga “screening” yang menentukan siapa orang yang boleh atau tidak boleh sebagai pejabat negara.  Apakah KPK memang menginginkan kewenangan itu? Bagi saya tidaklah pantas suatu lembaga penuntutan sekaligus sebagai hakim, bahkan berkeinginan seperti itupun tidaklah pantas.  Ingat bahwa komisaris KPK sendiri adalah manusia yang dapat saja berbuat kesalahan dalam pekerjaannya.

KPK sebenarnya telah terlalu terlambat dalam menetapkan BG sebagai tersangka.  Kalau memang benar BG sudah diketahui memiliki rekening yang mencurigai sejak 2010 dan telah dilakukan analisis oleh PPATK, tidakkah itu mestinya oleh KPK bisa diantisipasi jauh hari untuk menetapkan tersangka terhadap BG.  Penulis yakin kalau hal ini terjadi Presiden Jokowi tidak akan mengajukan BG sebagai calon menteri.  Antisipasi seperti ini semestinya bisa dilakukan KPK dalam rentang waktu dari sejak dia memberikan tanda “stabilo merah” sampai minimal ketika Kompolnas bekerja, atau paling tidak KPK secara proaktif memberikan masukan terhadap Kompolnas.  Tentu saja hal ini tidak terhadap BG semata, tetapi terhadap Jendral-jendral polisi lainnya yang berpotensi menjadi Kapolri dan telah dicurigai melakukan tidakan korupsi.  Karena siapa yang menjamin sekarang apabila Presiden mencabut mencalonan BG dan menggantinya dengan Jendral lain, lantas KPK tidak tiba-tiba menetapkan sebagai tersangka lagi.  Mungkin ada yang berpendapat sebaiknya Presiden meminta pertimbangan KPK dahulu sebelum menetapkan sesorang sebagai calon pejabat.  Hal ini kedengarannya sangat ideal dan jenius, tetapi ingatlah disamping tidak ada perintah UU untuk meminta petimbangan KPK, bagaimana kalau pertimbangan Kompolnas dan KPK bertentangan, petimbangan mana yang akan dipilih Presiden?  Kalau presiden mengabaikan pertimbangan Kompolnas dan menggunakan pertimbangan KPK semata, maka Prsiden akan dituduh melanggar UU.

Adakah Polisi yang benar-benar bersih, apalagi telah setingkat Jendral?  Kita sudah maklum dengan ungkapan Gusdur, yang mengatakan bahwa hanya ada dua Polisi yang jujur yaitu Jenderal Hoegeng dan Polisi tidur.  Opini masyarakat seperti ini tidak muncul begitu saja, tetapi oleh ingatan dan pengalaman kolektif masyarakat ketika berurusan dengan Polisi.  Sudah banyak beredar isu dimasyarakat bahwa untuk menjadi Polisi harus mengeluarkan uang sogokan puluhan juta, demikian pula kalau ingin naik pangkat.  Jadi kalau Polisi yang sudah berpangkat Jenderal (bintang dua dan tiga), yang potensi untuk Kapolri, sulit untuk kita yakini sebagai Polisi yang jujur.  Yang ada hanyalah Polisi yang ketahuan dan tidak ketahuan korupsinya, apalagi mereka yang talah berkarya sejak jaman orde baru (belum ada KPK).  Mungkin saja ada Polisi yang benar-benar jujur, tetapi kebanyakan karirnya mati hanya sampai perwira menengah.  Ingatlah pepatah ketika jaman “Orde Baru” siapa jujur dia hancur.  Sehingga penting sekarang adalah menemukan sosok yang benar-benar berkomitmen terhadap reformasi di tubuh kepolisian.  Apakah hal ini mungkin? Katanya untuk membersikan lantai diperlukan sapu yang bersih.  Berhubung sapu yang benar-benar bersih sulit diperoleh, yang ada mungkin sapu yang kelihatannya saja bersih, terpaksa digunakan sapu yang ada dan mungkin untuk membersihkan lanti memerlukan usaha yang besar dan diawasi benar-banar.

Semestinya menurut hemat saya apabila KPK sulit menetapkan seorang calon pejabat sebagai tersangka, walaupun sudah dicurigai tetapi belum ada bukti kuat sebaiknya KPK menahan diri untuk tidak terburu-buru menetapkan tersangka, apalagi orang tersebut sedang dicalonkan oleh Presiden.  Ingatlah Presiden itu adalah kepala negara yang wajib bagi kita untuk menghormati martabatnya sehubungan dengan jabatannya itu.  Dalam kasus BG misalnya KPK bisa saja menetapkan BG sebagai tersangka satu atau dua bulan kedepan setelah dilantik, tetapi mengingat yang akan dijadikan tersangka adalah Kapolri, maka hal ini mesti dikomunikasikan dengan Presiden untuk dicarikan solusi yang tepat.

Kalau sudah terlanjur seperti ini sekarang, bagaimanakah sebaiknya Presiden bersikap? Menurut hemat saya ada beberapa altenatif keputusan yang dapat diambil yaitu:

Presiden tetap melantik BG sebagai Kapolri dan KPK tetap bekerja sampai BG ditetapkan sebagai terdakwa.  Agar KPK dapat bekerja dengan baik, maka Kapolri baru serta merta non-aktif.  Wakapolri otomatis mengambil alih kendali.  KPK dituntut untuk memprioritaskan kasus BG dan jangan digantung seperti kasus-kasus lain (SDA, Hadi Utomo, Jro Wacik dll)

Presiden tidak melantik BG sebagai Kapolri sampai kasusnya naik ke pengadilan.  Selama jeda waktu BG dapat mengajukan Praperadilan terhadap KPK atas penetapannya sebagai tersangka. Apabila pengadilan menganulir keputusan KPK, maka BG segera dilantik sebagai Kapolri.  Pilihan kedua ini bisa sangat panjang, dan menimbulkan ketidak pastian pimpinan Polri dan menimbulkan kisruh yang berkepanjangan antara Presiden dengan Parlemen sehingga penulis tidak mengharapkan keputusan ini diambil Presiden.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun