Subsidi energi merupakan salah satu instrumen kebijakan publik terbesar di Indonesia. Pada setiap tahun, pemerintah mengalokasikan ratusan triliun rupiah untuk menjaga kestabilan harga BBM, LPG, dan listrik agar tetap terjangkau. Hal tersebut memiliki tujuan yang jelas yaitu supaya melindungi masyarakat miskin dari dampak kenaikan harga energi. Namun, masalah klasik yang terus bermunculan seperti ketidaktepatan sasaran. Seharusnya dinikmati oleh mereka yang sangat membutuhkan, tetapi subsidi energi tersebut justru banyak dinikmati oleh kalangan yang relatif mampu.
Data Kementrian Keuangan menunjukkan bahwa realisasi belanja subsidi energi pada tahun 2024 mencapai Rp 177,62 triliun, dan melonjak dalam APBN 2025 menjadi Rp 394,3 triliun. Jumlah tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan beberapa anggaran kementerian vital yang digabungkan sekaligus. Namun sangat disayangkan, sebagian besar subsidi justru tidak dapat dinikmati oleh masyarakat miskin.
Contoh yang paling nyata adalah dimana subsidi BBM. Pemilik mobil pribadi, yang pada umumnya berasal dari kelas menengah ke atas dapat menikmati harga bensin lebih murah berkat adanya subsidi. Sementara itu, masyarakat yang cenderung dengan kelas ke bawah dan lebih banyak bergantung pada  transportasi umum tidak mendapatkan manfaat yang setara. Hal yang sama terjadi pada subsidi listrik: Rumah tangga yang memiliki daya 900 VA ke atas dapat menikmati tarif yang rendah, meskipun bukan kelompok kelas ke bawah.
Apabila dilihat dari sisi analisis kebijakan, subsidi energi ini bermasalah dalam tiga hal utama. Dari sisi efisiensi, anggaran yang sangat besar yang tidak menghasilkan manfaat maksimal dan sepadan untuk seluruh masyarakat. Dari sisi keadilan, skema subsidi komoditas menciptakan sebuah ketimpangan: Kelompok dengan kelas ke atas justru menikmati energi lebih banyak sehingga mendapatkan porsi subsidi yang besar, sedangkan dengan kelompok kelas ke bawah hanya dapat mengkonsumsi hasil subsidi tersebut dengan porsi yang sangat minim. Dan dari sisi keberlanjutan, subsidi energi menekan ruang fiskal dan menggeser prioritas anggaran dari sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan, sekaligus memperpanjang ketergantungan pada energi fosil yang dapat mengalami penghambatan transisi ke energi bersih.
Dengan menyedari adanya kelemahan seperti hal ini, pemerintah mulai menyusun skema subsidi berbasis kuota dan data tunggal. Maka dengan menyusun skema tersebut hanya rumah tangga yang benar - benar membutuhkan saja yang bisa mengakses subsidi. Selain itu, sebagian anggaran dapat dialihkan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Skema ini lebih terukur dan dapat meminimalisir kebocoran. Pembaruan subsidi juga penting untuk mendorong transisi energi. Dana besar yang selama ini dipakai menjaga harga BBM dan listrik dapat dialihkan untuk energi terbarukan, transportasi umum, dan teknologi hemat energi. Dengan begitu, subsidi tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi juga produktif untuk masa yang akan datang.
Subsidi energi pada dasarnya adalah kebijakan yang baik dimana, dapat melindungi rakyat kecil dari gejolak harga. Namun, tanpa strategi yang tepat, kebijakan ini dapat berubah menjadi sebuah teka - teki yang dimana uang negara justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang tidak layak dibantu. Keberanian politik juga sangat dibutuhkan untuk memperbaiki skema subsidi energi. Mungkin tidak populer, bahkan dapat berpotensi menimbulkan pertentangan, tetapi langkah ini penting demi efisiensi anggaran, keadilan sosial, dan keberlanjutan pembangunan. Subsidi energi yang tepat pada sasaran bukan sekedar mengenai angka pada APBN. Namun, hal ini mengenai keberpihakan: apakah negara benar - benar hadir untuk melindungi yang lemah, atau justru malah terus memberi keuntungan bagi mereka yang mampu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI