Mohon tunggu...
Nur Laili Agustin
Nur Laili Agustin Mohon Tunggu... UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

mahasiswi aktif S1 Ilmu Ekonomi UIN Sunan Ampel Surabaya, hobi saya menonton film dan bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisis Pola Bantuan Internasional terhadap Bencana Gempa di Palu Menggunakan Teori Perdagangan dan Blok Ekonomi

19 Maret 2025   01:02 Diperbarui: 19 Maret 2025   01:02 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bantuan berupa makanan, pakaian, tenda dan sejumlah perlengkapan lainnya dari berbagi organisasi, perorangan dan perusahaan dikirim menggunakan kapal.

Tepat pukul 17.02 WIT pada 28 September 2018, terjadi gempa bumi dahsyat di Sulawesi Tengah, yang belakangan lebih populer disebut Gempa Palu. Beberapa wilayah terdampak bencana ini, yaitu Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Mountong. Dalam catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, gempa tersebut berkekuatan 7,7 skala Richter dan berpusat di ,18 Lintang Selatan dan 119,85 Bujur Timur atau 27 kilometer timur laut Donggala.

Total korban meninggal akibat gempa bumi dan tsunami sekitar 4,340 orang. Menjadikan salah satu gempa bumi paling mematikan yang pernah melanda Indonesia sejak Gempa bumi Yogyakarta 2006, serta bencana alam paling mematikan secara global pada tahun 2018. Adanya bencana alam paling mematikan secara global tentu mendapat respon cepat dari berbagai negara. Yang mana hal itu biasanya disebut dengan pola bantuan internasional.

Respons internasional terhadap gempa bumi dan tsunami Palu pada tahun 2018 menampilkan pola bantuan yang berlapis dan melibatkan berbagai aktor global. Di fase awal tanggap darurat, prioritas utama adalah bantuan kemanusiaan yang bersifat segera. Negara-negara sahabat dan organisasi internasional bergegas mengirimkan bantuan berupa barang-barang esensial seperti makanan instan, air minum dalam kemasan, obat-obatan dasar, tenda sebagai tempat berlindung sementara, selimut untuk menghangatkan diri, serta perlengkapan kebersihan untuk mencegah penyebaran penyakit.

Selain itu, tim-tim khusus yang terdiri dari personel penyelamat dengan keahlian mencari dan mengevakuasi korban reruntuhan, serta tenaga medis asing yang berpengalaman dalam menangani kondisi darurat pascabencana, juga diterjunkan ke Palu dan wilayah terdampak lainnya. Dukungan logistik menjadi krusial, di mana pesawat-pesawat kargo dari berbagai negara membawa berton-ton bantuan, dan helikopter digunakan untuk menjangkau daerah-daerah terpencil yang sulit diakses melalui jalur darat yang rusak. Beberapa negara dan organisasi juga memberikan bantuan finansial dalam bentuk dana tunai yang fleksibel, memungkinkan respons yang lebih cepat terhadap kebutuhan mendesak di lapangan.

Seiring berjalannya waktu dan transisi dari fase tanggap darurat ke pemulihan jangka panjang, fokus bantuan internasional mulai bergeser. Upaya rekonstruksi infrastruktur yang hancur menjadi prioritas utama. Bantuan dialirkan untuk membangun kembali rumah-rumah penduduk yang rata dengan tanah, mendirikan kembali gedung-gedung sekolah agar kegiatan belajar mengajar dapat dilanjutkan, membangun ulang fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit, serta memperbaiki dan membangun kembali infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, dan jaringan listrik yang lumpuh.

 Selain pembangunan fisik, dukungan ekonomi juga menjadi perhatian penting. Program-program dirancang untuk membantu masyarakat kembali menghidupkan roda perekonomian, termasuk pemberian modal usaha kecil, pelatihan keterampilan untuk mencari nafkah baru, serta dukungan bagi sektor-sektor ekonomi lokal yang terdampak. Aspek psikologis juga tidak luput dari perhatian, dengan berbagai organisasi memberikan bantuan psikososial untuk mengatasi trauma dan dampak psikologis mendalam yang dialami para korban bencana. Lebih lanjut, bantuan juga menyasar pada penguatan kapasitas sumber daya lokal, melalui pelatihan dan pendampingan bagi pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil, dengan tujuan meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi dan mengelola potensi bencana di masa depan.

Spektrum aktor yang terlibat dalam memberikan bantuan sangat luas. Negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, baik di kawasan regional ASEAN maupun negara-negara maju di belahan dunia lain, menunjukkan solidaritas dan kepedulian mereka. Organisasi-organisasi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) yang berperan dalam mengkoordinasi respons, Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) yang fokus pada kebutuhan pengungsi internal, Dana Anak-anak PBB (UNICEF) yang menangani kebutuhan anak-anak dan keluarga, Program Pangan Dunia (WFP) yang memastikan ketersediaan pangan, serta lembaga keuangan global seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), turut memberikan kontribusi signifikan. Palang Merah Internasional (ICRC) dan Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) juga memainkan peran penting dalam memberikan bantuan kemanusiaan dan dukungan kesehatan. Selain itu, berbagai Organisasi Non-Pemerintah (NGO) internasional dengan keahlian spesifik dalam bidang bantuan kemanusiaan dan pembangunan turut aktif di lapangan. Bahkan, sektor swasta internasional juga menunjukkan kepeduliannya melalui donasi dan dukungan logistik.

Analisis pola bantuan melalui teori perdagangan

Menganalisis pola bantuan ini melalui lensa teori perdagangan, khususnya konsep keunggulan komparatif, memberikan pemahaman bahwa setiap negara cenderung memberikan kontribusi sesuai dengan kapabilitas dan sumber daya yang mereka miliki. Negara-negara dengan kekuatan logistik dan transportasi yang mumpuni, seperti Australia dan Singapura yang mengirimkan pesawat militer, memiliki "keunggulan" dalam pengiriman bantuan darurat skala besar. Lalu, negara-negara dengan tim medis khusus yang terlatih dalam penanganan bencana, memiliki "keunggulan" dalam memberikan layanan kesehatan spesialis. Badan-badan PBB, dengan mandat dan jaringan global mereka, memiliki "keunggulan" dalam koordinasi dan penyaluran bantuan sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Sementara NGO internasional, dengan pengalaman lapangan dan pemahaman konteks lokal, memiliki "keunggulan" dalam implementasi program yang efektif dan tepat sasaran.

Dengan demikian, bantuan internasional pasca gempa Palu dapat dilihat sebagai sebuah "pertukaran" sumber daya dan keahlian, di mana setiap pihak berkontribusi berdasarkan kekuatan mereka untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang timbul akibat bencana.

Menurut perspektif teori blok ekonomi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun