Mohon tunggu...
Nuri Fadl
Nuri Fadl Mohon Tunggu... mahasiswa

menulis karena science berkata perempuan harus mengeluarkan setidaknya 15000 kata perharinya supaya waras logikanya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak-Anak Berkesadaran Soreveign Beings

30 Agustus 2025   09:10 Diperbarui: 17 Agustus 2025   19:16 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita mengurai ke belakang, ke akhir tahun 2019 untuk membicarakan mengenai pola norma, dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang dirubah dalam waktu yang cepat. Dimana para orang tua yang terbiasa bekerja, maupun mengelola rumah tangga secara tiba-tiba dibatasi ruang geraknya di luar rumah, pekerjaan di dalam ruangan ditata ulang mengikuti prosedur anjuran pemerintah yang mematuhi aturan Organisasi Kesehatan Dunia. Mendapatkan sekilas ide mengenai kegawatdaruratan yang terjadi serentak di dunia, karena Pandemik Covid-19. Tanpa memberikan konsep lanjutan, maupun penjabaran bagaimana bersikap secara defensif pada wabah yang berhubungan dengan alam biologis manusia untuk mempetahankan kesehatan mental dan spiritual dimasa itu. Masyarakat kemudian harus bergerak lebih disiplin, memberikan jarak baik ketika berbicara secara langsung dengan orang lain, berdiri dalam antrean di ruang publik, transportasi umum, bahkan hingga menghentikan pekerjaan di kantor, dan beraktifitas kerja dari rumah.

Orang tua Indonesia tidak memiliki detail ketepatan informasi atas batasan-batasan tesebut ketika serentak anak-anak tidak lagi perlu datang ke sekolah. Tetapi setelah beberapa waktu, harus menyiapkan satu gadget beserta internet untuk mengikuti kelas secara daring. Mayoritas orang tua kemudian menginformasikan bahwa wabah pandemik Covid-19 adalah wabah pertama kali di abad ke-20-an ini, dan dikarenakan penyakit yang mewabah tersebut bersifat transformatif, maka sebagai umat manusia, kita dihadapkan pada gerbang yag disebut New Normal. Yaitu tahun ke dua masa Pandemik Covid-19, prosedur, protocol, himbauan, kedisiplinan, kebiasaan-kebiasaan baru tidak hanya diberlakukan pada tubuh kita, melainkan pada pola pikir, dan mental setiap individu dalam masyarakat. Praktiknya pada konsep New Normal itu, pemerintah mewajibkan setiap masyarakat, terutama badan usaha untuk mendukung transformasi dari direct contact kepada New Normal, virtual interaction and communication, yang kemudian memberikan kebiasaan normal baru untuk semua orang yang kemudian hampir setiap saat memegang gadget, maupun peranti komunikasi online lainnya.

Inovasi solutif yang secara masif dikembangkan untuk menemukan vaksin, memenangkan 'the almost unseen war' dipercepat, sementara masyarakat umum menunggu, memaksakan diri mengikuti protokol, prosedur kedisiplinan baru dalam aktifitas mereka sehari-hari yang pada waktunya, mencari jalan keluar sendiri-sendiri untuk meningkatkan ketahanan diri sendiri demi keseimbangan mental dan spiritual akibat ketidakpastian akan kapan berakhirnya wabah tersebut. Hingga pada puncaknya adalah masyarakat kita, terutama generasi produktif, yan biasanya bekerja di kantor-kantor, besosialisasi di sekolah-sekolah, dan tempat umum mendapatkan 'pelarian baru' dari dunia yang dibatasi yaitu dunia maya, dimana mereka mendapatkan semua hal, informasi, interaksi tanpa batas wilayah, maupun gender. Dikarenakan tidak adanya hibauan selain mengenai kesehatan jasmani, bertahan supaya tidak jatuh sakit, tidak terjangkit Covid-19, tidak sampai masuk karantina Covid-19, ada fenomena baru yang belum disebut wabah lain pada tahu ke-dua itu yaitu fenomena 'overload informative mode'. Keadaan dimana masyarakat mendapatkan kebebasan akses informasi internet hingga pada titik, tidak ada satu pun yang dengan mudah menentukan yang mana informasi benar, berita, opini, ataupun cerita yang difabrikasi. Kebebasan dunia digital, yang secara eksplisit membantu masyarakat meng-upgrade pengetahuan umum mereka dengan mudah, cepat, dan ekonomis. Memiliki kesadaran akan dunia diluar lingkungan nyata (realita) mereka, tetapi kemudian tidak menemukan cara untuk memilah manakah informasi, interaksi dunia virtual, maupun komunikasi maya yang menjadikan mereka lebih bijaksana dan memiliki kedalaman pengetahuan, daripada apapun yang disuguhkan oleh dunia open source.

Sampai pada kesadaran tersebut, kita tidak bisa mendiktekan siapa-siapa yang sudah kebal (immune) dari down side effects dunia digital. Kita juga tidak pantas menyebutkan bahwa perempuan-perempuannya yang wajib menjadi garda terdepan pembentukan imunitas daripadanya. Meskipun pada realitasnya di Indonesia, kita belum lagi berbicara tentang perempuan-perempuan pekerja/karir, belum menyinggung mengenai inklusifitas dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Ditambah ketika kita melewati waktu 2022-2023, yang secara serentak namun berkala, masyarakat tidak lagi menyebutkan New Normal sebagai sebuah breaking news, seakan, dan mungkin juga dikarenakan kita semua sudah ada didalam dunia tersebut. Semakin sedikit yang mengeluh kesulitan dan terhambat koneksi untuk mengikuti kelas daring, karena anak-anak mulai kembali mengisi ruang-ruang kelas mereka di sekolah. Pekerja dan pengusaha sudah lebih fleksibel menggunakan waktu mereka dalam pekerjaan baik ketika itu bekerja dari rumah maupun kembali bekerja di kantor-kantor, atau perusahan/pabrik. Tingginya mortalitas dikarenakan pandemik sudah diterima menjadi bagian dari kenangan, kehidupan, dan seleksi alami dari alam semesta. Akan tetapi, bagaimana kita memenangkan wabah imaterial daripada efek dunia digital?

New Normal bukan lagi gagasan yang diimplementasikan, praktik tersebut, tanpa setiap rakyat memahami konsep dan filosofinya, sudah menerima dan ikut bertransformasi sebagai individu-individu dunia digital. Sekarang realita individu tidak hanya terbatas pada lingkup kerja, dan rumah. Menjadi normal untuk mengetahui bahwa kita memiliki teman-teman tanpa batas wilayah dan negara. Bahkan perputaran ekonomi juga mendapatkan peningkatan efektifitas yang signifikan dengan adanya dunia digital. Sedangkan individu-individu, yang masih menggenggam jiwa-jiwa mereka untuk bisa seperti dahulu sebelum ada gadget dengan kemutakhiran dunia free open source adalah mereka yang belum menemukan esensi daripada transformasi diri dalam kehidupan mereka.

Orang tua, sudah tidak bisa dianggap normal jika yang digarisbawahi adalah hanya ibu, atau istri dari keluarga/rumah tangga tersebut untuk memperhatikan, dan membangun karakter anak-anak dengan dunia digital, yang menyebabkan kehancuran lebih cepat secepat ia membangun, dan menghubungkan orang-orang diseluruh permukaan bumi. Kita tidak perlu lagi menyinggung tentang sustainability, berkelanjutan, berkesinambungan lagi ketika kita dihadapkan pada dunia digital yang super transformatif. Transformasi realitas di sekitar (3D) mewujudkan anak-anak menjadi cepat tanggap atau hilang fokus, mewujudkan anak-anak memiliki rasa ingin tahu tinggi, komunikatif, dan ekspresif, atau lebih mudah menyimpan/menemukan rahasia. Transformasi yang melemahkan karakter anak-anak semisal, menjadikan mereka lebih superficial (menilai hanya pada permukaan; surface; yang tampak; dan material; kebendaan), sedangkan transformasi yang menguatkan adalah sifat humanis tinggi , profesionalisme pada tingkatan masyarakat, dan loyalitas yang berubah menjadi sifat performis demi trend yang terus menerus terikat pada tuntutan inovasi. Kabar baiknya untuk orang tua Indonesia, generasi kita melihat loyalis-loyalis terakhir pada New Normal ini, generasi kedepannya, generasi beta, alpha, dan seterusnya nanti, mereka akan secara natural menjadi lebih menjunjung tinggi meritokrasi. Mereka tahu apa yang pantas untuk mereka, dan mereka tidak akan terjun untuk sesuatu yang bukan menunjukkan, atau sejalan dengan loyalitas mereka.

Peran orang tua saat ini, dan tentu bukan dimulai dari besok tahun depan, atau menunggu Indonesia Emas 2045 adalah membuat kesadaran 'sovereign being' pada diri anak-anak masing-masing sejak dini. Sungguh, kita tidak lagi wajib memuja, mempercayai konsep daripada kebersinambungan atau keberlanjutan (sustainability). Yang kita perlu adalah membangunkan kesadaran 'sovereign being'. Kesadaran atas diri (self), bukan untuk memanjakan ego, yang ego itu adalah menjadi primadona dunia digital, berdasarkan model cara kerja terbalik sebuah mesin (engine) reverse engineering dunia digital, sehingga kita wajib membangunkan kesadaran 'sovereign being' tersebut. Inti dari kesadaran sovereign being adalah seusai ajaran agama Islam, bahwasanya setiap individu bertanggung jawab pada dirinya sendiri, mandiri (self-govern), dan memiliki karakter-karakter pemimpin, bukan pekerja.  Anak-anak berkesadaran 'sovereign being' mereka tidak hanya mandiri tetapi bekesadaran terhadap etika-etika profesionalisme yaitu jujur, disiplin, fairness (tidak KKN dan tidak loyalis). Mereka akan dengan sadar menggunakan gadget, memasuki dunia digital untuk keuntungan-keuntungan yang bermoral, bukan yang beraksi (perform) untuk acara-acara kriminal maupun asusila, dan mereka paham nilai-nilai diri karena self-govern tanpa penanaman nilai-nilai diri, loyalitas pada diri sendiri adalah sebuah kecurangan (dan kecurangan adalah ketidakadanya penghargaan pada diri sendiri).

Orang tua-orang tua Indonesia disini diminta, dipaksakan, dibuatkan New Normal untuk mendidik anak berkesadaran 'sovereign being' seperti Jepang mendidik anak-anak untuk fokus mengenai diri sendiri sebelum mengajari mereka Matematika. Orang tua-orang tua Indonesia mendidik anak untuk mengetahui harga dari setiap etika yang mereka terapkan. Etika baik yang mereka terapkan untuk diri sendiri, akan memberikan kebaikan hingga keluar ke lingkungan luar daripada diri mereka sendiri, menjadi baik dan bermanfaat untuk orang lain. Etika lemah yang mereka terapkan untuk diri sendiri, akan berdampak keburukan tidak hanya pada diri mereka sendiri, melainkan kepada orang lain, bahkan ketika orang lain tersebut tidak ada sangkut pautnya dalam penyelesaian masalahnya. Secara menyeluruh, kemudian, anak-anak berkesadaran 'sovereign being' mewujudkan generasi sosial yang melestarikan tidak hanya teknologi inovatif tetapi juga budaya unggul bangsa Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun