Mohon tunggu...
Nuri Fadl
Nuri Fadl Mohon Tunggu... mahasiswa

menulis karena science berkata perempuan harus mengeluarkan setidaknya 15000 kata perharinya supaya waras logikanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rokok dan Tiktok: Adiksi Bangsa Indonesia

12 Juni 2025   14:18 Diperbarui: 12 Juni 2025   14:18 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

280 juta jiwa penduduk Indonesia,70 juta perokok aktif, 157,6 juta pengguna Tiktok. Keduanya mungkin dan tidak mungkin dikumpulkan menjadi satu domain, satu golongan. Terutama dengan garis bawah keduanya menjadi pelarian, dopamine sementara, maupun perusak masal. 278,85 milyar batang rokok dihisap/tahun, dan rata-rata pengguna tiktok online di aplikasi tersebut 22 jam 48 menit/bulannya. Kenapa kedua barang tersebut menjadi komoditas yang dianggap penting bagi warga Indonesia?

Adiksi warga Indonesia kepada benda yang bisa menahan, meredakan emosi-emosi uneasy tampaknya didasari dari budaya masa perjuangan yang dirawat di era orba, dan dibiarkan saja di era reformasi. Kiranya kesadaran sains tidak memberikan pegas user rokok dan tiktok untuk introspeksi diri. Namun tidak pula pemuka-pemuka agama tidak berfatwa ataupun memberikan solusi yang mudah diimplementasikan secara masal dan serentak. Seakan dua habit diatas adalah ujian individu, antara pahala-dosa individu, yang nasihat, insight keilmuan dan moralnya disebarkan dalam satuan kelompok. Padahal, setara kengeriannya dengan babi yang haram, minum qamr yang haram, tabaruj yang haram, serta zina yang haram. Setaranya perkara-perkara yang lebih banyak negatifnya, yang menghancurkan dalam jangka panjang. Tetapi lagi, merokok dan tiktok-an adalah fenomena yang diterima saja kenyataannya.

Jika lebih sopan daripada kalimat terakhir paragraph di atas, karena dibuatkan templet di sosial media, piagam penghargaan sarkastik untuk perokok, tiktoker tidak mendapatkan templet piagam sarkas yang setara karena dianggap menjadi opsi mendulang pendapatan, meski tidak ada standar moral daripada konten-kontennya.

Disini bahasan diletakkan pada kasus dopamine tester yang bersumber dari dua hal perusak diatas. Yakni, bagian yang merusak adalah senyawa adiktif buatan, yang satu pemantik kasat mata mebekas secara fisiologis bersumber dikomposisi batang rokok, yang satunya berproduk tidak kasat mata karena memanfaatkan pemantik psikologi masyarakat/komunal. Dopamine, dimana senyawa kenikmatan dan kesenangan, pereda kecemasan, tetapi memiliki ketajaman dan kekejaman setara double-blade, positif dan negatifnya menghantarkan kepada kerusakan fisiologis dan atau psikologis penggunanya dalam kadar penggunaan ambangnya.

Tidak berbicara berapa banyak data bukti penyakit jasmani dan rohani yang mencerai berai rumah tangga dan menjatuhkan martabat individu karena over-stimulasi rokok dan tiktok. Sakitnya, baik pengguna tiktok maupun perokok, mereka jauh dari kata sadar, bahwa mereka perlu dan mampu untuk me-reversed engineering kebiasaan-kebiasaan yang nagih itu.

Katakanlah komplen, komentar, dan argumentasi yang meminta mereka untuk berhenti timbul dari kontra hak asasi mereka, terdorong dari rasa 'rese', nyinyir, jealous. Mereka benar-benar harus mencoba cara 'reverse engineering' atau gaya Bikini Buttom, Hari Kebalikan. Ya, mengamati pemahaman fungsi, dan sebab produksi/proses lalu membaliknya. Jadi berandaikan merokok biar tahan lapar, itu adalah sensasi, bukan fungsi aslinya. Buka tiktok untuk lihat FYP-FYP random aja, tidak buat konten. Nah, ketertarikan pada hal-hal random, yang kemudian memicu rasa penasaran instan, dan serba tiba-tiba, dikemudiannya kamu ikut tren, tantangan FYP, yang dipermudah lagi untuk menghasilkan viewers, kemudian hadiah-hadiah yang dahulu hanya kita dapat jika berjuang ikut perlombaan atau ketika berprestasi menjadi yang terbaik. Di aplikasi Tiktok siapapun jadi terbaik, terfavorit setiap hari selama mereka berani effort sedikit saja. Bukan nilai moral, maupun standar ilmu pengetahuan yang menjadi cornerstone-nya melainkan algoritma.

Seperti pengakuan Mark Zuckerberg, pioneer sosial media tahun 2000-an dengan platform Facebooknya, yang kemudian berevolusi dan down-streamingnya menjadi Instagram, Whatsapps, hingga Meta Ai bahwa mungkin sudah terlamat untuk mengucapkan Bersiap-siaplah, lebih faktualnya, welcome, beri selamat datang (dalam sarkas) pada era algoritma, karena era bersosial di media digital sudah tergeser hampir dan menjadi kemungkinan akan sirna. Artinya, saat ini, sudah tiba masanya kita kehilangan kesadaran pada rasa mengutamakan saudara keluarga sedarah, dan sebaliknya kita mulai mengait-ngaitkan dalam efek sensasi psikologis tadi, bahwa algoritma adalah kedekatan komunal yang menguntungkan dan bisa dengan instan menjadikan hidup prosper.

Buruknya lagi untuk kaum perokok aktif, disamping berlembar-lembar lipatan list penyakit dan kerugian jasmani atas aktifitas merekok, dopamine adiktif yang ditimbulkannya membuat mayoritas dari mereka tidak sadar, 27,7 triliun rupiah pertahun dihabiskan untuk rokok. Keadaan yang terlampau mampu untuk menerima BLT maupun cover BPJS Kesehatan dari pemerintah dan masyarakat lain secara keseluruhan. Membiarkan anak-anak stunting, istri mood-swings, perceraian, hingga kematian dan masih merasa bahwa merokok rokok tembakau adalah satu dari budaya Indonesia bermasyarakat dan bersosialisasi. Andaikan, dari merokok bisa menjauhkan dari hal-hal merugikan diatas, berfungsi untuk menghindari hal-hal haram yang lebih jelas hukum/fatwanya seperti miras, zina, ngobat, tidakkah secara eksplisit sama artinya berdalih taat meski khurafat, sama-sama bejat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun