Mohon tunggu...
Nuril Ummah
Nuril Ummah Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya mahasiswa UIN Malang fakultas ekonomi jurusan perbankan syari'ah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jual Beli Pre Order dalam Perspektif Fiqh Muamalah

7 Juni 2025   14:19 Diperbarui: 7 Juni 2025   14:19 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam era bisnis modern yang semakin pesat, metode pre-order (PO) menjadi salah satu cara yang banyak dipakai oleh pengusaha, khususnya dibidang fashion, kuliner, dan produk buatan tangan (hand made). Metode ini memungkinkan para penjual menerima uang dari konsumen sebelum produk tersedia secara fisik, dengan komitmen bahwa barang tersebut akan dikirim sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Praktik ini dianggap efisien karena memberi  kesempatan kepada produsen untuk menyesuaikan jumlah barang yang diproduksi sesuai dengan tingkat permintaan. Namun, baru-baru ini, metode PO juga menciptakan sejumlah masalah, seperti pengiriman yang terlambat, ketidakjelasan mengenai status barang, hingga penipuan oleh penjual yang melarikan uang dari pembeli. Dari perspektif fiqh muamalah, hal ini memunculkan berbagai pertanyaan penting mengenai keabsahan perjanjian, kemungkinan gharar (ketidakpastian), tanggung jawab moral yang berkaitan dengan tranksaksi

Salah satu kasus yang ramai terjadi adalah ketika pembeli mentransfer sejumlah uang kepada penjual sebagai pembayaran untuk produk yang belum tersedia. Penjual berjanji akan memproduksi atau mendatangkan barang dalam kurun waktu tertentu. Namun setelah melewati waktu yang disepakati, barang tak kunjung datang dan penjual tidak memberikan informasi yang memadai. Dalam beberapa kasus ekstrem, penjual menghilang begitu saja tanpa kejelasan. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian dan kerugian bagi pembeli. Maka timbul pertanyaan: apakah transaksi PO seperti ini sah dalam Islam? Apakah penjual diperbolehkan menjual barang yang belum ada atau belum dikuasainya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami bahwa Islam sebagai agama yang sempurna mengatur ibadah dan tranksaksi keuangan. Setiap tranksaksi dalam fiqh muamalah harus memenuhi syarat tertentu agar dianggap sah dan halal. Salah satu prinsip utama dalam jual beli adalah bahwa barang yang dibeli harus jelas dan tidak mengandung unsur-unsur penipuan atau ketidak jelasan. Rasulullah SAW bersabda "Nabi melarang jual beli yang mengandung gharar" (HR. Muslim). Gharar dalam hal ini mencakup ketidakpastian tentang jumlah, waktu, kualitas, atau keberadaan produk yang dijual. 

Namun, Islam juga menyediakan kesempatan untuk berbagai jenis tranksaksi jual beli berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman, asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip syariah yang mendasar. Dalam konteks jual beli pre-order, cara ini bisa diselaraskan dengan akad salam, yaitu suatu perjanjian jual beli dimana pembeli melakukan pembayaran di muka untuk barang yang akan diseahkan di kemudian hari, dengan rincian dan waktu yang sudah ditentukan. Akad salam merupakan salah satu tipe jual beli yang diperbolehkan dalam Islam, bahkan Nabi Muhammad S.A.W. sendiri pernah melaksanakannya. Dalam riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas, tertulis: "Rasulullah SAW tiba di Madinah dan warga setempat melakukan jual beli tranksaksi jual beli buah-buahan selama satu, dua, tiga tahun. Kemudian beliau bersabda: "'Barang siapa yang melakukan jual beli dengan sistem salam, maka hendaklah dilakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan waktu yang jelas.'" (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadis tersebut, bisa disimpulkan bahwa Islam mengizinkan transaksi jual beli dengan metode pembayaran di muka asalkan aspek-aspek seperti objek yang dijual, nilai, dan waktu pengiriman diungkapkan secara jelas. Oleh karena itu, sistem pre-order pada dasarnya dianggap sah jika memenuhi kriteria salam, yaitu: harga ditentukan di awal, rincian mengenai barang diuraikan dengan baik, waktu pengiriman ditetapkan, dan barang tersebut bukanlah sesuatu yang sulit diakses atau bersifat spekulatif. Apabila salah satu elemen ini tidak terpenuhi, maka kemungkinan terjadinya gharar menjadi sangat tinggi.

Sayangnya, dalam praktik di lapangan, banyak penjual yang tidak memahami prinsip-prinsip ini. Mereka hanya menyebut "PO 2 minggu" tanpa memperjelas tanggal pasti, kualitas barang, atau kondisi pengiriman. Bahkan tak jarang penjual membuka PO padahal belum memiliki mitra produksi yang jelas. Ketika terjadi kendala dalam produksi atau pengadaan, mereka tidak bisa memenuhi kewajiban terhadap konsumen. Hal ini menimbulkan kerugian sepihak dan membuat transaksi tersebut masuk dalam kategori akad batil atau setidaknya fasid (rusak). Dalam Islam, transaksi semacam ini tidak dibenarkan karena tidak memenuhi unsur keadilan dan transparansi.

Dari perspektif etika, pelaku bisnis Muslim sebaiknya mengutamakan nilai-nilai kepercayaan dan tanggung jawab. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan berada di sisi para nabi, individu yang bersikap jujur, dan para syuhada di kehidupan setelah mati." (HR. Tirmidzi). Kejujuran dalam menyampaikan detail produk, kepatuhan pada waktu yang dijanjikan, serta kesiapan untuk menghadapi risiko usaha merupakan komponen penting dalam fiqh muamalah. Saat penjual menerapkan sistem PO, ia harus memastikan bahwa proses produksi dapat dilakukan sesuai dengan yang telah dijanjikan. Apabila terjadi hambatan, ia wajib segera memberi tahu pembeli dan menawarkan pilihan pengembalian dana jika diperlukan.

Selain itu, sangat penting untuk memahami bahwa kerusakan pada akad tidak hanya berpengaruh pada keabsahan transaksi, tetapi juga pada keberkahan dari rezeki. Pendapatan yang dihasilkan dari transaksi yang tidak sesuai dengan syariat, meskipun secara hukum negara tidak ada masalah, dapat menjadi sumber rezeki yang tidak diperbolehkan. Untuk itu, pelaku bisnis harus menghindari praktik-praktik yang tidak jelas yang dapat merugikan konsumen dan merusak etika Islam dalam berbisnis.

Dari sudut pandang konsumen, sangat penting untuk meningkatkan pemahaman mengenai hukum ekonomi syariah agar tidak mudah tergoda oleh tawaran diskon besar, ketersediaan terbatas, atau harga pre-order yang terlalu rendah. Konsumen berhak meminta kejelasan mengenai perjanjian, rincian produk, serta estimasi waktu pengiriman. Jika informasi yang diterima dirasa kurang, maka lebih baik menunda transaksi atau memilih penjual yang terpercaya. Dalam Islam, juga terdapat anjuran untuk berhati-hati saat mengeluarkan uang, seperti yang tertuang dalam QS. Al-Isra ayat 26-27 yang melarang sifat boros dan menekankan pentingnya pengelolaan kekayaan dengan bijak.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa metode pre-order (PO) pada dasarnya dapat diterima dalam ajaran Islam jika memenuhi kriteria yang telah ditentukan dalam akad salam. Namun, dalam implementasinya, banyak pelaku bisnis yang tidak melaksanakan akad dengan benar, yang berakibat pada kebingungan dan kerugian. Islam mendorong praktik transaksi yang didasarkan pada kejujuran, tanggung jawab, dan transparansi informasi. Oleh sebab itu, diperlukan pendidikan berkelanjutan mengenai fiqh muamalah baik untuk pelaku usaha maupun konsumen agar sistem PO dapat dilaksanakan dengan benar, adil, dan membawa berkah.

Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak yang berpartisipasi dalam transaksi pre-order untuk memahami prinsip-prinsip dasar fiqh muamalah dan mengimplementasikannya dalam setiap bagian bisnis. Pemerintah dan lembaga keuangan berbasis syariah juga berperan penting dalam memberikan pelatihan serta peraturan yang jelas mengenai praktik jual beli ini. Di zaman digital saat ini, peningkatan literasi keuangan dan pemahaman tentang akad syariah menjadi semakin krusial, terutama untuk generasi muda yang terlibat dalam bisnis online. Keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab bukan sekadar istilah, melainkan merupakan inti dari sistem ekonomi Islam secara keseluruhan. Dengan dasar prinsip syariah yang kuat, sistem pre-order tidak hanya akan menjadi praktik bisnis yang legal, tetapi juga menciptakan manfaat, keberkahan, dan kepercayaan dari konsumen yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun