Sumber mata air yang deras dan jernih ini ditemukan pada tahun 1958 oleh Warsanti dan Kol. (Purn) DKM Koeswoto. Saat ditemukan sumber ini mengucurkan airnya dari bongkahan batu-batu besar yang dipahat menyerupai kepala ular naga raksasa. Namun pahatan kepala ular naga ini sudah hilang sekitar tahun 1968.
Adanya ragam hias kepala ular naga di suatu patirtan adalah hal yang lazim di Jawa Timur pada masa Jawa Kuno. Motif ini melambangkan kekuatan sakti, perlindungan dari bahaya dan kesuburan. Ular naga dalam mitologi Jawa sering dikaitkan dengan air kekuatan alam yang melindungi dan membawa keberkahan.
Dipercaya warga setempat disinilah tempat pemandian Ken Dedes dan Ken Arok pada jaman kerajaan Singhasari.
Meskipun tempatnya relatif terpencil namun banyak orang yang mengunjungi dua sumber ini. Apalagi di malam-malam bulan Suro. Tidak usah takut kelaparan karena banyak warung di tepi jalan yang menyediakan kopi dan aneka masakan seperti rujak, tahu lontong, soto juga pangsit mie yang masing-masing menyediakan tempat parkir dan buka 24 jam.
Berbeda dengan jalan menuju Sumber Boto Rubuh yang masih alami , jalan menuju Sumber Nagan sudah dibangun tangga dengan pegangan dari paralon.
Saat ini sebagian air dari kedua sumber ini digunakan untuk kepentingan irigasi dan sumber air bersih oleh penduduk setempat.
Suasana yang tenang dan alami di sekitar sumber menarik banyak pengunjung yang mencari ketenangan. Aroma mistisnya memperkuat niat pengunjung yang ingin "ngalap berkah".
Sumber Boto Rubuh dan Sumber Nagan adalah petirtan yang menjadi saksi bisu tentang sejarah masa lalu. Pengunjung bisa datang untuk mempelajari bagaimana sebuah peradaban di masa lalu yang membangun petirtan ini.
 Keberadaan kedua sumber ini tak dipungkiri telah menjadi magnet yang menarik banyak pengunjung dan menjadi berkah bagi masyarakat sekitar yang bisa membuka  warung atau pun jasa pemandu.