Di sudut lapangan tempat acara tirakatan digelar, seorang pedagang telur gulung dikerubungi ibu-ibu dan anak-anak. Kehadirannya menjadi semacam distraksi yang tak terelakkan dari acara utama---tirakatan malam tujuh belas Agustus. Baru kali ini, tradisi itu disisipi oleh pedagang keliling, dan ternyata, sambutan warga sungguh di luar dugaan.
Orang-orang berdiri mengular, sabar menanti giliran mereka. Mata mereka tertuju pada tangan penjual yang cekatan. Tanpa henti ia mengaduk adonan, mencelupkan tusukan-tusukan adonan telur ke dalam minyak panas yang mendesis riang. Aroma gurih yang menyeruak ke udara membuat siapa pun menoleh---termasuk aku, yang selama ini bahkan tak pernah tertarik dengan jajanan seperti itu. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena udara malam yang lembap, mungkin karena suasana kebersamaan yang hangat, atau mungkin karena aroma itu benar-benar memikat.
Sementara itu, di panggung utama, suara MC terus menggelegar, mengumumkan para juara lomba tujuh belasan dengan semangat tinggi. Namun banyak yang perhatiannya sudah teralihkan ke tenda sempol. Orang-orang datang dan pergi, bergantian membeli, namun antrean seolah tak pernah surut.
Di balik kepulan asap wajan, tampak dua penjual itu tersenyum---wajah mereka sumringah, bahagia. Meski tangan tak berhenti bekerja, mereka tampak menikmati momen itu. Malam kemerdekaan, dengan caranya sendiri, menjadi perayaan kecil juga bagi mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI