Di tengah hiruk pikuk suara mesin dan aroma khas kayu, Desa Sambirembe di Kabupaten Sragen hidup sebagai denyut nadi industri mebel yang dikenal hingga mancanegara. Ratusan tangan perajin terampil setiap hari mengubah bongkahan kayu menjadi karya seni bernilai ekonomi tinggi. Namun, di balik keindahan ukiran dan kokohnya perabotan, ada bahaya tak kasat mata yang mengintai napas mereka: debu kayu.
Menyadari risiko ini, tim pengabdian masyarakat dari Universitas Sebelas Maret (UNS) yang dipimpin oleh Prof. Tonang Dwi Ardyanto, dr., Sp.PK(K), Ph.D., menggelar sebuah program inovatif bertajuk "Udara Bersih untuk Paru Sehat". Pada Rabu, 25 Juni 2025, tim medis ini turun langsung untuk memberikan edukasi dan melakukan deteksi dini penyakit paru bagi para pahlawan ekonomi desa tersebut.
Ancaman dalam Debu yang Dianggap Biasa
Bagi para pekerja mebel yang telah puluhan tahun bergelut dengan kayu, paparan debu adalah sahabat sehari-hari. Batuk ringan, dahak, atau napas yang sedikit lebih berat sering kali dianggap sebagai "risiko pekerjaan" yang wajar, atau lebih sering lagi, dituding sebagai akibat dari kebiasaan merokok.
"Dari hasil survei awal kami, kesadaran akan bahaya spesifik debu kayu, terutama risikonya menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), masih sangat minim," ungkap salah satu anggota tim.
Kondisi ini diperparah dengan rendahnya penggunaan alat pelindung diri (APD). Alasan ketidaknyamanan dan anggapan "sudah biasa" membuat banyak pekerja menyepelekan masker, membiarkan partikel-partikel kayu halus masuk dan mengendap di paru-paru mereka tahun demi tahun. Padahal, paparan jangka panjang inilah yang secara perlahan tapi pasti dapat merusak fungsi paru secara permanen.
Saat Angka di Layar Monitor Berbicara Lebih Keras
Puncak acara hari itu bukanlah sesi penyuluhan biasa. Tim UNS membawa peralatan spirometri, sebuah alat untuk mengukur fungsi paru secara akurat. Setelah mengisi kuesioner mengenai gejala dan kebiasaan, para pekerja diajak untuk meniupkan napas sekuat tenaga ke dalam alat tersebut.
Momen inilah yang menjadi titik balik bagi banyak dari mereka. Seorang bapak, perajin senior yang mengaku hanya perokok ringan, terdiam saat melihat grafik fungsi parunya di layar monitor menunjukkan adanya indikasi penyempitan saluran napas. Keluhan sesak napas yang selama ini ia anggap biasa ternyata adalah sinyal medis yang nyata.
"Kami ingin mereka tidak hanya mendengar, tetapi juga melihat kondisi paru mereka sendiri," jelas Prof. Tonang. "Ketika data objektif dari spirometri disandingkan dengan keluhan yang mereka tulis di kuesioner, pemahamannya menjadi utuh. Risiko itu bukan lagi cerita, tapi fakta yang ada di depan mata."
Kombinasi edukasi dan bukti medis langsung ini terbukti ampuh. Diskusi menjadi lebih hidup, pertanyaan-pertanyaan kritis bermunculan, dan yang terpenting, tumbuh kesadaran baru bahwa kesehatan paru adalah aset yang tak ternilai, sama berharganya dengan mebel yang mereka hasilkan.