Mohon tunggu...
Nur Fatma Juniarti
Nur Fatma Juniarti Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dua anak yang pernah berkecimpung di dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Efek Samping KTSP

12 Desember 2014   13:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:28 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14183478952030682577

[caption id="attachment_382079" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi kegiatan belajar-mengajar. (Kompas.com)"][/caption]

Setelah dihentikannya pelaksanaan kurikulum 2013, beberapa sekolah yang baru menjalankan kurikulum 2013 selama 1 semester diminta untuk kembali ke kurikulum 2006 yang disebut KTSP.
Bagi saya, KTSP bukanlah hal yang asing. Hubungan saya dengan KTSP berlangsung cukup lama, yaitu ketika saya masih mengajar di sebuah lembaga bimbel. Memang, sebagai guru bimbel saya tidak direpotkan dengan urusan administrasi kelas yang berkaitan dengan kurikulum. Tetapi, guru bimbel banyak berinteraksi langsung dengan siswa dari berbagai kalangan. Mulai dari siswa sekolah yang biasa-biasa saja, sampai siswa sekolah pencetak juara olimpiade ada di situ. Hal ini tentu memudahkan saya mengamati permasalahan yang berlaku umum pada KTSP. Interaksi terbesar saya waktu itu dengan siswa SMP dan SMA. Hanya beberapa kali saja saya mengajar siswa SD.
Apa sih kendala KTSP itu?
1. Materi terlalu padat
Konsep KTSP lebih mengutamakan pengetahuan siswa, sehingga siswa diberi materi sebanyak mungkin. Jumlah pelajaran pada kurikulum KTSP banyak. Masing-masing pelajaran memiliki materi yang cukup banyak dan dibahas sangat detail. Bayangkan saja, anak SD harus tahu apa tugas MPR, DPR, DPD, camat, lurah, dsb. Beberapa materi KTSP juga diberikan sedini mungkin. Materi yang harusnya diberikan pada awal perkuliahan justru diberikan pada anak SMA. Materi untuk anak SMA diberikan kepada anak SMP.
2. Konsep siswa terhadap materi lemah
Padatnya materi KTSP menyebabkan siswa tidak paham konsep dasar. Saya sering menjumpai anak-anak SMP tidak bisa menghitung perkalian bilangan pecahan, bahkan ada yang cukup parah tidak bisa menghitung pembagian bilangan bulat. Awalnya saya menganggap bahwa anak tersebut memang lemah dalam bidang matematika. Namun, saya justru terkejut ketika salah seorang murid saya yang cukup cepat menangkap pelajaran matematika, juga mengalami hal yang sama. "Something wrong", pikir saya kala itu. Jujur waktu itu saya tidak tahu akar permasalahannya di mana?
Saya baru sadar akar masalah ini ketika anak saya masuk kelas 1 SD. Jangankan anak, saya saja cukup kelelahan melihat materi anak saya. Terkadang kepala saya pusing dan perut menjadi mules karena melihat materi yang harus dipelajari anak saya. Anak saya belum paham menghitung bilangan, sudah berganti materi penjumlahan bilangan satuan. Penjumlahan belum paham sudah berganti materi penjumlahan bersusun bilangan puluhan. Belum lagi belajar bangun datar, menghitung sudut dan masih banyak materi yang harus dibahas.
Melihat kondisi materi yang seperti itu, wajar saja jika siswa tidak matang mengenai konsep dasar. Sepintar apa pun siswa, secepat apa pun siswa dalam menangkap pelajaran, konsep dasar harus tertanam dengan baik.
3. LKS sebagai solusi
Bagi saya materi KTSP adalah materi "Mission Impossible". Siapa yang mampu dengan materi seperti itu? Sungguh, anak didik saya sangat super sekali. Kalau saya jadi mereka, pasti sudah tinggal kelas beberapa kali.
Untuk mengatasi permasalahan materi yang padat, akhirnya guru-guru memberikan solusi berupa LKS. Melalui LKS, siswa cukup mengerjakan latihan soal saja. Melalui latihan soal, materi tidak perlu dibahas satu per satu. Siswa hanya perlu banyak berlatih. Semakin dia sering berlatih mengerjakan soal, semakin dia hafal dengan tipe soal, maka nilai yang diperolehnya tinggi.
Bagi saya, konsep belajar seperti itu telah mengaburkan fungsi pendidikan. Siswa tidak diajarkan untuk tahu secara bertahap. Seolah-olah dengan tahu tipe soal, semua urusan selesai. Tapi saya hanya bisa terdiam lesu setelah teman saya mengatakan seperti ini, "Fatma, materinya terlalu berat buat siswa. Coba Fatma bayangin, bagaimana caranya siswa bisa mengerti semua materi dalam waktu cepat. Ini baru satu pelajaran lho. Siswa harus belajar pelajaran yang lain. Kalau kita ajarkan materi secara bertahap, kasian siswa. Lebih baik kasih latihan saja, jadi siswa tahu materi apa yang sering ditanya pada saat ulangan ataupun UN."
4. Siswa berpikir pendek
Efek dari penggunaan LKS adalah pemikiran siswa menjadi dangkal. Siswa melupakan esensi dari suatu ilmu. Permintaan untuk mengajarkan rumus cepat merupakan makanan sehari-hari saya. Saya sering menolak permintaan tersebut. Bagi saya rumus cepat sangat menyesatkan siswa. Siswa jadi lemah dalam mengembangkan konsep lebih lanjut.
Selain itu, siswa tidak tertantang untuk memiliki ilmu baru. Saya sering mengajukan pertanyaan yang seharusnya membuat siswa berpikir kritis. Ternyata siswa merespon, "Bu, untuk apa mengerjakan soal seperti ini? Gak mungkin keluar di ulangan, Bu." Okelah kalau begitu. Ternyata mereka sudah tidak berpikir tentang manfaat menuntut ilmu. Mereka berpikir bahwa tujuan belajar agar bisa mengerjakan soal ulangan.
5. Waktu terbuang
Saya yakin dari sekian banyak materi KTSP hanya beberapa materi saja yang diingat siswa. Murid saya yang waktu itu belajar tugas lurah hingga tugas presiden, pasti sudah banyak lupa. Berapa banyak waktu yang terbuang siswa hanya untuk mempelajari materi yang akan dilupakan siswa?
6. Orang tua merasa anaknya lambat dalam belajar
Padatnya materi KTSP membuat orang tua selalu khawatir. Mereka selalu merasa anaknya tertinggal dalam mengikuti pelajaran. Menurut kacamata saya, hanya sedikit siswa saya yang memang benar-benar tertinggal pelajaran. Hampir 70 persen murid-murid saya memiliki kemampuan yang baik di bidang akademis.
7. Celah anak untuk menyontek besar
Inilah efek samping KTSP yang paling fatal. Tuntutan yang tinggi, kemampuan yang standar menyebabkan anak mengambil jalan pintas. Ketika anak saya kelas 3 SD, anak saya dengan polosnya bertanya, "Ma, kakak bingung deh. Kenapa sih teman-teman baca buku di bawah kolong meja. Kan baca buku di bawah kolong meja susah." Deg. Hati saya terkejut. Apakah anak kelas 3 SD sudah begitu lihai mencontek? Karena anak saya waktu itu belum mengenal kata mencontek, saya pun bertanya mengenai kapan teman-temannya melakukan hal tersebut. Ternyata dugaan saya tidak meleset. Hal itu dilakukan saat ujian.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun