Mohon tunggu...
nur faizza
nur faizza Mohon Tunggu... mahasiswa

saya memiliki hobi travelling. bagi saya, travelling bukan hanya sekadar jalan-jalan, tetapi juga merupakan kesempatan untuk belajar dan berkembang. pengalaman-pengalaman ini telah membuka pikiran saya dan membuat saya menjadi orang yang lebih terbuka dan toleran.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kruwuk Membara: Konflik Lahan yang Tak Kunjung Usai antara Petani dan Korporasi

7 Maret 2025   11:35 Diperbarui: 7 Maret 2025   11:35 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto Petani di Desa Gadungan, Blitar (Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria))

Mayoritas orang Indonesia bekerja di sektor pertanian dan perkebunan, yang memainkan peran penting dalam perekonomian negeri dan memberikan sumber kehidupan bagi jutaan orang di negara tersebut.

Di Indonesia, konflik agraria sering terjadi karena tumpang tindih, kesenjangan, dan peraturan yang tidak konsisten.  Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 74 kasus konflik agraria terjadi pada tahun 2022, yang menunjukkan bahwa sektor perkebunan adalah penyebab utamanya.  Salah satu provinsi Indonesia dengan jumlah konflik agraria tertinggi adalah Jawa Timur. Konflik agraria, terutama di bidang perkebunan, sangat mempengaruhi Kabupaten Blitar.

PT Rotorejo Kruwuk dan Paguyuban Petani Kelud Makmur terlibat dalam konflik agraria di Desa Gadungan, yang terletak di Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar.  Konflik ini dimulai pada tahun 2009 ketika masa HGU perkebunan kruwuk berakhir, yang membuat tanah tersebut menjadi tanah negara secara otomatis.  Selain itu, petani mengajukan permohonan redistribusi tanah berdasarkan habisnya HGU kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional), tetapi prosesnya terhambat.

PT Rotorejo Kruwuk, pemegang HGU sebelumnya yang tidak memperpanjang haknya, adalah salah satu pihak yang terlibat dalam kasus ini.  Sejak saat itu, Paguyuban Petani Kelud Makmur (PPKM) adalah organisasi petani yang berjuang untuk memperoleh hak atas tanah yang disengketakan.  Selain itu, lembaga pemerintah, seperti BPN, Kepala Desa, dan pihak lain yang bertanggung jawab atas mediasi dan penyelesaian konflik.

Di Desa Gadungan, Blitar, ada sengketa lahan antara PT Rotorejo dan petani Kelud Makmur. Kedua pihak mengklaim memiliki hak guna usaha (HGU) atas tanah yang pernah menjadi perkebunan Kruwuk. Namun, petani Kelud Makmur mengklaim telah menggarap tanah tersebut secara turun-temurun dan menuntut redistribusi tanah sebagai bagian dari reforma agraria. Serangkaian tindakan dipicu oleh sengketa ini, salah satunya adalah penertiban oleh perusahaan yang dianggap merusak dan mengancam petani.  Setelah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) melalui upaya mediasi pemerintah, redistribusi lahan tertunda karena masalah hukum dan tidak jelasan batas lahan.  Petani Kelud Makmur terus berjuang untuk hak mereka, meskipun mereka menghadapi intimidasi dan kriminalisasi saat posko mereka dirusak. Konflik ini menunjukkan kompleksitas sengketa agraria Indonesia, yang melibatkan hak atas tanah, kepentingan bisnis, dan upaya pemerintah untuk reformasi agraria.

Petani Kelud Makmur di Desa Gadungan, Blitar, berada dalam situasi yang tidak menentu setelah konflik lahan dengan PT Rotorejo. Mereka menghadapi berbagai tekanan, tetapi mereka terus berjuang untuk mempertahankan hak atas tanah yang telah mereka garap secara turun-temurun. Petani takut dan tidak aman karena intimidasi dan kriminalisasi menjadi ancaman nyata. Selain itu, keadaan semakin memburuk karena posko yang berfungsi sebagai pusat koordinasi mereka dirusak. Ini menghambat upaya mereka untuk berkolaborasi dan merencanakan perang.  Redistribusi lahan tersebut lamban dan sulit dilakukan meskipun lahan tersebut telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) oleh pemerintah. Petani mengalami beban psikologis karena status hukum yang tidak jelas dan batas lahan yang tidak jelas. Namun, di tengah kesulitan ini, para petani terus menunjukkan tekad kuat untuk memperjuangkan hak mereka dan berharap keadilan segera diterapkan.

Setelah terjadi sengketa lahan, tindakan PT Rotorejo memperburuk situasi.  Dilaporkan bahwa perusahaan melakukan sejumlah tindakan yang dianggap mengancam dan mengkriminalisasi petani Kelud Makmur.  Salah satu tindakan yang paling mencolok adalah perusakan posko petani, tempat mereka berkumpul dan berjuang.  Selain menghancurkan bangunan secara keseluruhan, tindakan ini juga menghancurkan dokumen penting yang berkaitan dengan perjuangan petani. Selain itu, ada laporan bahwa anggota Paguyuban Petani Kelud Makmur (PPKM) telah dikriminalisasi, menimbulkan ketakutan di kalangan petani.  Ini dianggap sebagai upaya untuk melemahkan resistensi petani dan mempertahankan klaim perusahaan atas lahan sengketa.  Tindakan perusahaan ini terus menghalangi penyelesaian yang adil dan damai, meskipun pemerintah telah berusaha memediasi konflik.

Setelah konflik lahan antara PT Rotorejo dan petani Kelud Makmur, pemerintah telah mengambil beberapa tindakan untuk mengurangi ketegangan dan mencari solusi.  Salah satu langkah penting adalah menetapkan lahan sengketa sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria melalui pembagian lahan. Selain itu, proses mediasi terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak terkait, seperti perwakilan pemerintah daerah, BPN, dan pihak perusahaan.  Selain itu, pemerintah berusaha untuk menentukan status hukum dan batas lahan yang menyebabkan konflik, meskipun ada banyak hambatan dalam prosesnya. Meskipun demikian, pemerintah mengakui bahwa masih ada banyak tantangan yang perlu diselesaikan, seperti memastikan hak asasi manusia dilindungi dan mencegah intimidasi terhadap petani.  Selain itu, pemerintah daerah telah bertemu dengan berbagai pihak untuk mencapai solusi terbaik. Mereka termasuk kepala desa, BPN Kabupaten Blitar, perusahaan, kakanwil, camat, ketua KPA, tim GTRA, Kades Gadungan, Kementerian ATR/BPN, Polres Kota Blitar, dan pemerintah kota Blitar.

Sengketa agraria menunjukkan kemiskinan struktural dalam konflik antara petani Kelud Makmur dan PT Rotorejo di Blitar.  Petani berada dalam lingkaran kemiskinan yang diperparah oleh ketidakadilan struktural karena mereka secara historis tidak memiliki akses ke sumber daya produktif seperti tanah.  Klaim HGU PT Rotorejo, yang sering didukung oleh pihak-pihak ekonomi dan politik, mengabaikan hak-hak petani yang telah menggarap tanah tersebut secara turun-temurun. Penipuan dan intimidasi petani adalah contoh bagaimana sistem kekuasaan digunakan untuk mempertahankan keadaan saat ini, di mana perusahaan besar memiliki keuntungan atas masyarakat kecil.  Ketidakmampuan petani untuk mendapatkan keadilan meskipun tanah tersebut telah ditetapkan sebagai LPRA menunjukkan bagaimana kemiskinan struktural menghambat akses mereka terhadap mekanisme penyelesaian konflik yang adil.  Oleh karena itu, konflik ini bukan hanya masalah lahan; itu juga merupakan bukti ketidakadilan sistematik yang terus menyebabkan petani menjadi miskin.

Selain itu, teori kemiskinan kultural dapat digunakan untuk menganalisis konflik antara petani Kelud Makmur dan PT Rotorejo.  Teori ini menekankan bagaimana sikap, nilai-nilai, dan pola perilaku yang diwariskan dapat mencegah kemiskinan terus berlanjut.  Dalam situasi seperti ini, petani Kelud Makmur mungkin terjebak dalam budaya "kemiskinan", yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan akses ke pendidikan, informasi, dan jaringan sosial yang diperlukan untuk meningkatkan keadaan ekonomi mereka.  Mereka dapat lebih rentan karena ketergantungan pada praktik pertanian konvensional, kurangnya diversifikasi mata pencaharian, dan kurangnya kesadaran akan hak-hak hukum. Selain itu, petani dapat merasa lebih tertekan dan lebih sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan jika mereka dihadapkan pada stigma dan diskriminasi.  Dalam situasi seperti ini, intervensi yang berfokus pada pemberdayaan kultural, seperti pendidikan kewirausahaan, pelatihan keterampilan, dan peningkatan kesadaran hukum, dapat menjadi kunci untuk menghentikan siklus kemiskinan dan memberi petani Kelud Makmur kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Konflik antara petani Kelud Makmur dan PT Rotorejo telah memiliki konsekuensi sosial, ekonomi, dan psikologis yang signifikan. Petani, yang mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama mereka, mengalami kerugian yang signifikan secara ekonomi. Kondisi yang tidak menguntungkan untuk investasi dan pertumbuhan usaha pertanian disebabkan oleh ketidakpastian hukum dan ancaman penggusuran. Secara sosial, Konflik sosial ini telah merusak struktur komunitas, menimbulkan polarisasi, dan menyebabkan trauma kolektif. Rasa takut dan rasa tidak aman menciptakan rasa tidak aman, menghambat interaksi sosial, dan mengikis kepercayaan terhadap institusi negara. Akibat ketakutan, ketakutan, dan perasaan tidak berdaya, petani mengalami banyak tekanan psikologis. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh petani dewasa, tetapi juga anak-anak mereka, karena keduanya dibesarkan dalam lingkungan yang tidak stabil dan tidak menentu. Secara keseluruhan, konflik ini menunjukkan ketidakadilan struktural yang ada dalam sistem agraria Indonesia, yang menyebabkan kemiskinan dan ketidaksetaraan terus berlanjut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun