IPM bukan hanya organisasi pelajar. Ia adalah sekolah kehidupan. Ia adalah wadah yang merawat nalar kritis sekaligus rasa empati pelajar. Dan di antara level struktural IPM, ranting sering kali menjadi ujung tombak yang terlupakan. Padahal, di sanalah akar bertumbuh.
Ranting: Tempat Semua Dimulai
Sebagian dari kita mungkin mengenal IPM dari ruang kelas, musholla sekolah, atau pengajian sore selepas asrama. Tidak ada panggung besar. Tidak ada sorotan media. Tapi ada semangat yang tumbuh---diam-diam namun dalam.
Maka ketika para pelajar dipilih menjadi Pimpinan Ranting IPM, itu bukan hanya amanah administratif. Itu adalah undangan untuk tumbuh. Dan Diklatsar Ke-IPM-an menjadi pintu pertama: menyadarkan bahwa organisasi bukan sekadar rapat dan laporan, tapi tentang nilai dan kebermanfaatan.
Bukan Sekadar Seremoni
Di Diklatsar, kader belajar hal-hal mendasar: bagaimana IPM lahir, mengapa harus hidup, dan ke mana ia bergerak. Tapi lebih dari itu, ada satu pelajaran yang tak tertulis dalam modul pelatihan: integritas diri.
Karena memimpin bukan tentang siapa yang paling keras suara atau paling cepat berbicara. Tapi siapa yang mampu konsisten berpikir, jujur dalam bertindak, dan adil pada amanah yang dipegang. Dan itu semua dimulai dari latihan kecil: datang tepat waktu, mendengarkan teman satu kelompok, atau menulis notulen rapat dengan serius.
Ranting Bukan Pinggiran
Kadang kita silau dengan struktur atas. Cabang. Daerah. Wilayah. Bahkan Pimpinan Pusat. Padahal, rantinglah yang paling dekat dengan realitas pelajar hari ini. Mereka yang melihat langsung siswa yang ingin berhenti sekolah karena tak mampu. Mereka yang tahu mana teman yang butuh teman bicara, bukan sekadar tausiyah.
IPM di ranting adalah ladang amal yang nyata. Jika kader bisa menggerakkan satu kelas untuk tidak buang sampah sembarangan, atau membuat taman bacaan sederhana, itu sudah cukup menjadi bukti: IPM bekerja bukan di panggung, tapi di akar.