Mohon tunggu...
Nur Delima Afriani
Nur Delima Afriani Mohon Tunggu... MAHASISWI

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

"Krisis Hijau di Kaki Kerinci: Ladang Bertumbuh, Hutan Menghilang"

22 April 2025   21:25 Diperbarui: 22 April 2025   21:41 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di jantung Pulau Sumatera, berdiri megah Gunung kerinci yang menjadi atap sumatera dan penjaga keheningan rimba. Namun dibalik keindahan dan kemegahannya, ancaman diam-diam menggerogoti, hutan-hutan di kakinya kian menyempit, perlahan tergantikan oleh ladang-ladang yang terus meluas. kabupeten Kerinci tempat kelahiran saya merupakan salah satu wilayah dengan kekayaan hayati yang tinggi, keberadaan Taman Nasional Kerinci Sebelat menjadikan wilayah ini strategis dalam konteks konservasi. Di kaki gunung yang sejuk itu, hutan-hutan yang dahulu lebat dan hidup kini perlahan digantikan oleh hamparan ladang kentang, kol, dan sayur-sayuran lainnya. Sekilas, geliat pertanian ini tampak seperti bentuk kemajuan ekonomi masyarakat. Namun, jika dicermati lebih dalam, justru menympan potret krisis ekologis yang serius.

Kerusakan hutan di sekitar kawasan TNKS yaitu salah satu kawasan konservasi terbesar di Asia Tenggara terjadi dalam laju yang mencemaskan. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian oleh warga lokal berlangsung secara masif, dengan pola yang tak terkendali. Penebangan liar, pembukaan lahan dengan membakar, hingga perambahan kawasan taman nasional dilakukan secara terbuka, sering kali tanpa sanksi atau pengawasan yang berarti. Faktor penyebabnya kompleks. Keterbatasan lahan produktif, tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian, minimnya akses terhadap pekerjaan alternatif, serta lemahnya tata kelola lahan menjadi pemicu utama. Sementara itu, ketidakhadiran negara dalam memberikan solusi yang berpihak pada petani kecil sekaligus melindungi hutan memperparah keadaan. Akibatnya, benturan antara kelestarian lingkungan dan kebutuhan ekonomi rakyat terus berlangsung tanpa arah penyelesaian.

Kerusakan hutan di kaki Gunung Kerinci
Kerusakan hutan di kaki Gunung Kerinci

Dampaknya sudah nyata. Banjir bandang dan longsor semakin sering terjadi di wilayah Kerinci. Kualitas tanah menurun, debit air sungai menyusut, erosi, dan suhu udara lokal meningkat mengganggu kestabilan iklim lokal dan memperparah emisi karbon. Lebih mengkhawatirkan lagi, habitat satwa-satwa langka seperti harimau dan badak Sumatera kian terdesak, memicu konflik manusia dengan satwa liar yang sebelumnya jarang terjadi. Data dari Global Forest Watch mencatat bahwa TNKS kehilangan lebih dari 55.000 hektar tutupan hutan primer sejak 2002. Alih-alih menjadi ladang harapan, lahan-lahan pertanian baru ini justru menjelma menjadi ladang konflik antara warga dan aparat, antara manusia dan satwa, antara ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang. Ironisnya, dalam banyak kasus, masyarakat tidak memiliki pilihan lain. Mereka bukan pelaku tunggal kerusakan, melainkan korban dari sistem yang gagal menciptakan keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan alam.

Kerusakan hutan di kaki Gunung Kerinci merupakan peringatan akan perlunya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan konservasi lingkungan. upaya kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan sangat penting untuk memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan generasi mendatang. Penyelamatan hutan bukan hanya sekedar persoalaan menjaga pepohonan, tetapi menyangkut kelangsungan hidup masyarakat dan makhluk hidup lainnya. Negara harus hadir secara utuh untuk memberi akses, melindungi hak, menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan, dan menciptakan sistem ekonomi yang tidak bertentangan dengan keberlanjutan ekologi.

Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian
Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian

Pemerintah perlu mendorong redistribusi lahan berbasis ekologi, seperti yang di atur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Penataan ruang di sekitar wilayah TNKS harus melibatkan masyarakat lokal dan mengintegrasikan kebutuhan ekologis kawasan penyangga. Krisis ekologi di kaki Gunung Kerinci bukan sekedar isu lokal, melainkan cermin dari kebijakan negara yang belum hadir sepenuhnya di tangan warganya. Dibutuhkan perubahan, karena hutan yang hilang bukan hanya kehilangan pohon, melainkan hilangnya masa depan kita bersama. Sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi lingkungan hidup di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Sebuah wilayah yang dikenal sebagai "Sekepal Tanah Surga yang Jatuh ke Bumi", namun kini menghadapi tantangan serius akibat tekanan aktivitas manusia terhadap kawasan hutannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun