Saat ditanya apa arti keluarga, kebanyakan orang akan menyebut ayah, ibu, saudara kandung. Itu benar. Tapi semakin jauh aku melangkah, semakin aku menyadari bahwa keluarga tidak selalu ditentukan oleh hubungan darah.Â
Kadang, keluarga bisa muncul dari pertemuan yang tidak disengaja, tumbuh melalui cerita sehari-hari, dan mengakar dalam kebersamaan yang tulus.
Aku ingin menceritakan satu momen yang sangat berharga dalam hidupku. Sebuah hari sederhana yang berubah menjadi kenangan luar biasa.Â
Sebuah perjamuan kecil di satu meja panjang, bersama teman-teman dan seorang wanita yang kami panggil "ibu" --- meskipun kami tak sedarah, kami semua merasa seperti keluarga.
Foto itu diambil pada suatu hari yang awalnya biasa saja. Kami memutuskan untuk makan bersama di sebuah tempat makan yang sederhana namun hangat.Â
Delapan orang berkumpul, duduk mengelilingi meja kayu, di depan hidangan yang tidak mewah, tapi terasa begitu istimewa karena dimakan bersama.
Kami berasal dari daerah yang berbeda. Bahasa kami kadang berbeda logat. Tapi tak ada jarak.Â
Justru perbedaan itulah yang menyatukan kami. Kami tertawa, bercerita, bercanda, dan mengenang perjuangan yang kami lalui bersama.
Dan di antara kami, ada satu sosok istimewa: seorang ibu, bukan ibu kandung kami, tapi kehadirannya membawa rasa nyaman seperti rumah.Â
Dialah tempat kami curhat, tempat kami minta doa, tempat kami belajar arti kebersamaan walapun tidak langsung mengobati.
Sosok ibu ini mungkin tidak melahirkan kami, tapi ia melahirkan kekuatan baru dalam diri kami. Dalam kelembutan dan candanya, ia menyelipkan penguatan.Â
Dalam sikapnya, ia menunjukkan ketulusan. Ia tidak memandang siapa kami, dari mana kami datang, atau latar belakang kami. Ia merangkul semua.
Tidak mudah menemukan orang seperti itu di zaman sekarang---yang mau mencintai tanpa pamrih, yang hadir tanpa diminta, dan yang setia berjalan bersama walau tahu ia bukan bagian resmi dari keluarga kami.
Satu hal yang paling aku syukuri dari momen itu adalah kesadaranku: momen seperti ini mungkin tidak akan pernah terulang dengan cara yang sama.Â
Tahun depan, mungkin kami sudah menyebar ke berbagai tempat. Kesibukan akan datang, waktu akan berubah, bahkan mungkin beberapa dari kami tidak bisa lagi berkumpul bersama.
Tapi kenangan itu abadi.
Ia hidup dalam hati kami.
Ia terpatri dalam tawa, dalam mata yang saling memandang penuh makna, dan dalam cerita yang terus kami ulang-ulang.
Kami tahu, satu foto ini bukan sekadar dokumentasi---tapi warisan rasa.
Untuk kalian, teman-temanku:
Terima kasih telah menjadi rumah di tanah rantau. Terima kasih telah membagi cerita, menampung air mata, dan membangun tawa bersama.Â
Kita memang bukan saudara sedarah, tapi aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita.
Dan untuk ibu yang kami sayangi:
Terima kasih karena engkau mengasihi kami tanpa alasan. Engkau telah menjadi pelita dalam masa-masa kami mencari jati diri, penyejuk dalam kekalutan, dan pelindung dalam keheningan.
 Kami akan selalu mengenangmu, bukan hanya karena peranmu, tapi karena kasihmu.
Aku belajar bahwa keluarga bukan hanya soal siapa yang melahirkanmu, tapi siapa yang menerimamu sepenuh hati.
Bukan hanya soal tinggal serumah, tapi siapa yang merasa resah saat kamu sedih dan bersorak saat kamu berhasil.
Di momen itu, aku tidak hanya menemukan teman dan seorang ibu---aku menemukan keluarga.
Keluarga yang tak datang dari rahim yang sama, tapi dari jiwa yang saling bertaut dalam kasih.
Dan aku tahu, meskipun hari itu tak bisa terulang, cintanya akan terus hidup. Dalam doa, dalam kenangan, dan dalam langkah hidup kami selanjutnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI