Apakah topik berita kita akhir-akhir ini yang menarik? Tentang plagiarisme, jiplak menjiplak, copas? Atau tentang meletusnya gunung Kelud? Tentang sepak terjang Jokowi-Ahok? Atau tentang walikota Risma yang makin populer? Mata Najwa? Usman-Harun? Spionase Australia? Atau lebih lanjut yang lain dari ini semua?
Saya mencoba mengurutnya sedemikian rupa di lapak ini. Dan memang soalan di atas itulah yang rata-rata kini tengah berlangsung oleh kita "pewarta warga". Sengaja saya sebut pewarta warga karena rata-rata kompasianer yang ada di "negeri" ini adalah pewarta warga, minimal buat diri sendiri -- sedikit selfie tidak apa-apa kan?
Lalu, apa artinya pewarta warga bagi diri kita? Apakah ketika satu topik aktual muncul kita pun turut berjibun turun kesana tanpa melihat kanan-kiri, langsung nyebur karena yakin tulisan kita tidak akan berimbas pada yang membacanya. Atau, kalau pun berefek paling tidak kita sudah pede karena kita bisa menulis dan bisa beropini pada satu topik yang sedang tren sehingga jadilah tulisan kita masuk trending articles atau maksimal dikomentari sekian ratus pembaca dan kita pun berbangga hati? Atau kalau tidak, kita juga yang menorehkan di tulisan kita "aktual", "bermanfaat", "menarik", dan "inspiratif"? Busyet dah, betapa dangkalnya kita, betapa piciknya kita tentu dengan alasan, kalau bukan kita yang menghargai tulisan kita ya siapa lagi.
Saya mau tutup mata saja deh kalau ada yang seperti itu. Rasanya, membaca dan menyaksikan tulisan semacam itu seperti melihat si penulisnya onani di depan mata, masturbasi sendiri, hot sendiri. Layakkah?
Namun, untungnya, kompasiana memang wadah masif pewarta warga darimana saja boleh datang. Lebih dari itu boleh berkomentar. Lebih dari itu boleh nyeleneh. Sebab, ini alam demokrasi bung! Siapa saja boleh menulis dan berkomentar dong sekehendak hati.
Cuma kok, tetap saja sebagai manusia biasa saya merasa kurang sreg. Saya lebih suka dengan spirit pewarta warga yang sebenarnya. Bahwa setiap orang berhak memberitakan sesuatu tetapi tetap dalam jalur-jalur atau kaidah-kaidah jurnalistik yang sudah ditetapkan. Dan tentu saja yang namanya pewarta atau jurnalis (harus) tahu tentang hal itu. Sebab, tidak serta merta sebuah berita di tulis. Tidak serta merta sebuah berita dilangsungkan (straight news). Tidak serta merta sebuah kasus di reportase di tempat sebagaimana sigapnya kru televisi tanpa mendapatkan sumber utama berita.
Dan kita, apalah arti kita sebagai pewarta warga apabila kita cuma latah, penyambung berita satu ke berita satu lagi dengan topik yang sama, dengan menumbuhkan opini yang kesana kemari yang memperkeruh sumber berita yang penting. Walhasil, lepaslah kita dari topik yang harusnya kita sajikan begitu berimbang, penuh, dan tentu saja memiliki tanggung jawab. Tidak asal bercerita, tidak asal mereportase, tidak asal tulis, dan tentu saja mengasaskan sesuatu secara adil.
Itulah kita, (dan saya juga) yang latah dan dangkal selaku pewarta warga. Akibatnya, saya lebih memilih time out, meminta waktu, untuk sedikit mencerna sekian banyak berita yang masuk, topik yang mengudara, sekedar untuk jeda menghirup udara berita-opini yang tengah berlangsung. Untuk apa? Ya agar saya bisa menyajikan ke khalayak pembaca sebuah tulisan yang tidak asal jadi, tidak dangkal, dan tentunya punya nilai meski bisa jadi tulisan ini tidak harus dibaca atau dilewatkan begitu saja.
Saya memilih mengambil dan menekankan ulang semangat jurnalis warga yang minimal mau bertanggung jawab dengan isi tulisannya. Bersamaan dengan itu saya terus mencoba mengasah kemampuan menulis analisis berita (news analysis) sehingga kapan waktu, na'udzubillah, saya tidak asal menulis karena tidak punya sumber berita atau opini yang valid atau adekuat lalu pun tidak asal bacot komen.
Sudah dulu ya....!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI