Pendidikan tinggi seharusnya menjadi benteng peradaban, ruang suci di mana ilmu, akhlak, dan integritas tumbuh bersama. Apalagi jika lembaga tersebut mengusung label "Islami", maka secara ideal ia mengemban tanggung jawab moral yang jauh lebih tinggi: menjunjung nilai-nilai keadilan, kesucian, dan perlindungan terhadap martabat manusia.
Namun ironi menyelimuti realitas. Di balik jargon religius dan simbol keislaman yang dipajang di dinding-dinding kampus, masih terjadi praktik kelam yang mengoyak nurani: pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen, sosok yang seharusnya menjadi teladan dan penjaga etika.
Studi kualitatif yang dilakukan di beberapa kampus agama di Nusa Tenggara Barat (2024) menunjukkan bahwa dosen laki-laki mendominasi sebagai pelaku pelecehan seksual, baik dalam bentuk verbal, fisik, maupun melalui platform digital. Ironisnya, modus-modus tersebut dibungkus dalam aktivitas akademik yang seharusnya murni, seperti bimbingan skripsi atau konsultasi penelitian.
Banyak mahasiswi yang awalnya percaya kepada dosen pembimbingnya, justru terjebak dalam dinamika relasi kuasa yang timpang. Mereka diperlakukan sebagai objek perhatian berlebihan, dikenai candaan seksis, hingga mengalami sentuhan fisik yang tidak diinginkan. Bahkan ketika ruang fisik dihindari, celah digital tetap dimanfaatkan pelaku untuk melakukan pelecehan lewat pesan pribadi, video call, atau komentar bermuatan seksual terselubung.
Penelitian persepsi di UIN Sunan Kalijaga mencatat adanya keragaman narasi dari mahasiswa, terutama dalam menyikapi kekerasan seksual. Sebagian masih menolak membicarakan isu ini dengan alasan tabu atau khawatir mencoreng nama baik institusi, sementara sebagian lain mulai bersuara namun masih dalam bentuk yang tidak sistematis. Hal ini menunjukkan adanya konflik batin antara loyalitas terhadap institusi dan tuntutan moral untuk melawan ketidakadilan.
Survei nasional yang melibatkan 1.026 responden dari 157 perguruan tinggi di Indonesia memperkuat temuan tersebut: satuan tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) belum merata. Banyak kampus yang bahkan belum memiliki mekanisme pelaporan yang aman dan terpercaya. Korban sering kali tidak tahu harus mengadu ke mana, atau justru diminta diam "demi kebaikan bersama".
Apa Kata Sains? ---Respons Institusi Masih Lemah
Konsep restorative justice (keadilan restoratif) sempat diajukan sebagai solusi untuk penyelesaian kasus-kasus ini. Namun, hasil penelitian di kampus-kampus Islami di Sulawesi Selatan memperlihatkan bahwa mahasiswa tidak sepenuhnya mendukung pendekatan ini. Minimnya transparansi, tidak adanya pemantauan independen, serta kecenderungan lembaga menutup-nutupi kasus menjadi sumber kecurigaan utama.
Studi dari Universitas Sebelas Maret menyoroti hambatan struktural yang mengakar dalam sistem kampus: kebijakan yang belum berpihak pada korban, minimnya perspektif gender, lemahnya tata kelola internal, dan belum terbentuknya jejaring kolaborasi antarkampus untuk mencegah pelecehan seksual secara lebih masif.
Sementara itu, jurnal Al-Sihah mencatat bahwa gap antara jumlah kasus nyata dan jumlah laporan resmi sangat lebar. Banyak korban memilih bungkam karena tidak percaya sistem bisa melindungi mereka. Padahal diam hanya memperpanjang siklus trauma.
Mengakhiri siklus pelecehan seksual di kampus Islami tidak cukup dengan sekadar mengeluarkan himbauan atau membentuk satuan tugas formalitas. Dibutuhkan tindakan nyata yang berakar pada nilai-nilai Islam dan sains sosial. Berdasarkan kombinasi temuan jurnal dan hasil studi terbaru, berikut strategi yang perlu diterapkan secara komprehensif: