Mohon tunggu...
Nur Seta Bramadi
Nur Seta Bramadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Former English teacher in LPIA Jakarta and Bekasi (2008-2018)

Teaching English in Jakarta and Bekasi (2008-2018). Wrote few books: Kursus Singkat Bahasa Inggris (2011), Kursus Singkat Percakapan Bahasa Inggris (2013), Kursus Singkat Bahasa Inggris Bisnis (2016), and Percakapan Inggris-Indonesia Bidang Perawat dan Rumah Sakit (2021). All published by BIP Publisher Jakarta. No one is perfect. Stay simple and humble.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

(Esai Pendek) Budaya Film dan Musik "Musuh" Budaya Baca?

30 April 2024   09:20 Diperbarui: 30 April 2024   09:24 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: okezone.com

Oke, sesekali saya coba menulis esai pendek. Mengapa ada tambahan kata 'pendek'? Sekedar mawas diri bahwa saya bukanlah pakar yang bisa menulis secara mendalam, panjang, dan sarat referensi. 

Entak mengapa, sepertinya budaya membaca buku di masyarakat kita --disadari atau tidak-- sering "dibenturkan" dengan budaya menonton film atau mendengarkan musik, baik secara offline maupun online. Terkesan seorang yang suka menonton film atau mendengarkan musik "pasti" tak suka membaca buku. Apa benar demikian?

Tak bisa dipungkiri bahwa film memang lebih menarik, mengingat sifatnya audio-visual. Begitu pula dengan musik yang bisa meredakan stres kita. Buku? Agaknya cenderung dianggap sebagai sesuatu yang "berat" dan melelahkan. Buku pun dianggap kurang menarik karena tak ada suara dan gambar (kecuali komik). Memang ada audio-book, tapi kita tahu harganya cenderung mahal karena ongkos produksinya juga tinggi. 

Dengan berbagai fakta itu, salahkah bila orang cenderung lebih suka film dan musik? Seseorang yang kutu buku, apakah "pasti" tak suka menonton film atau mendengarkan musik? Begitu lebarkah jurang pemisah antara budaya baca dengan film dan musik? Sepertinya tidak perlu begitu. Kita tahu, hobi tak bisa dipaksakan. Berpura-pura suka baca buku (mungkin agar terkesan "intelek") justru akan menyiksa diri sendiri dan bersifat hipokrit. 

Di era digital ini, kehadiran e-book tak bisa dihindari (apalagi dimusuhi). Baik e-book maupun paper-book masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihan e-book adalah kemudahan akses dan harga lebih murah (bahkan mungkin gratis), satu hal yang justru jadi kekurangan paper-book. Penerbit buku kertas tak mungkin menekan harga jual karena faktanya harga kertas, tinta, biaya cetak, dan ongkos produksi lain naik terus. Inikah akhir dari paper-book? Entahlah. 

Oke, karena ini esai pendek maka harus segera saya akhiri. Intinya, bisa saja seorang penonton film, pecinta musik, gamer, content creator, dan profesi online lainnya adalah juga pembaca buku. Begitu pula sebaliknya. Tak usah dibandingkan porsi waktu terbanyak mana yang kita habiskan pada masing-masing aktivitas itu. Lebih baik menjalani hidup secara wajar dari pada berpura-pura jadi orang lain. Membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, dan aktivitas online lain idealnya memang saling melengkapi, bukan saling "bermusuhan". 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun