Mohon tunggu...
Nunung Nurhayati
Nunung Nurhayati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Medistra Indonesia

Saya seorang mahasiswa doktoral farmasi universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Integrasi Ilmu Pengetahuan dengan Islam

14 Mei 2024   21:29 Diperbarui: 14 Mei 2024   21:59 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

PENDAHULUAN 

Membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan persoalan-persoalan lain, termasuk agama. Sebaliknya, pembahasan mengenai agama tidak akan pernah lepas dari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini, intergrasi ilmu dan agama menjadi penting untuk dibicarakan. Ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya (moral, agama). Misalnya, pertanyaan, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas-batas wewenang penjelajajahan keilmuan? Ke arah mana pengembangan keilmuan harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kini menjadi penting, dan untuk menjawabnya para ilmuan mau tak mau harus berpaling pada moral dan agama. Ini berarti diskusi mengenai integrasi ilmu dan agama merupakan sesuatu yang tak terelakkan.

Keutamaan diangkatnya martabat seorang manusia adalah keutamaan ilmu. Allah SWT berfirman dalam surat al- Mujadilah ayat 11:

Artinya: "Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah ,niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang- orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Nabi saw mengisyaratkan tuntutan integrasi ini. Perintah iqra' menghendaki pengembangan ilmu, sedangkan bi ism rabbik, menghendaki pengembangan moral (agama). Atas dasar ini, menurut Armahedi Mahzar (dalam Bagir et all 2005:92) pengembangan ilmu dan peradaban Islam kurun awal pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah bersifat integrasi (integrated). Bahkan tema integrasi (al-taufiq bain al-din wa al-falsafah) ini menjadi issu sentral dalam pengembangan pemikiraan dan fislafat Islam sejak masa al-Kindi, yang diakui sebagai filososf Muslim pertama, hingga mencapai puncaknya di masa Ibn Rusyd (Madjid Fakhri, 1987: 374).( Slamet, Konsep Integrasi Ilmu dan Agama, Assalam , jurnal ilmiah ilmu- ilmu keislaman, Vol. II No. 03, Pebruari 2019

Perkembangan gagasan tentang integrasi agama dan filsafat di  dunia Islam terus menerus hingga mnecapai puncaknya di tangan Ibn Rusyd. Filosof Muslim yang bergelar "al-Syarih" (komentator filsafat Aristoteles) ini dapat dikatakan telah menjawab tuntas soal integrasi agama dan filsafat dalam bukunya yang masyhur, "Fashl al-Maqal fi ma bain al-syari`ah wa al-hikmah min al-Ittishal." Dalam buku ini dan dalam beberapa tulisannya yang lain, Ibn Rusyd memberikan penjelasan tentang hubungan dan harmonisasi antara agama dan filsafat. Hubungan antar keduanya, bagi Ibn Rusyd, hanya menimbulkan tiga kemungkinan saja. Kemungkinan pertama, temuan akal (filsafat) sama dengan apa yang diajarkan agama. Jadi, dalam kasus ini, tidak ada pertentangan (kontradiksi). Kemungkinan kedua, kTemuan akal secara lahiriah berbeda atau berlawanan dengan wahyu (agama). Perbedaan ini bisa direkonsiliasi dengan jalan ta'wil, yaitu pemikiran mendalam sehingga dicapai keselarasan. Jadi, dalam kasus ini, pertentangan hanya bersifat lahiriah atau permukaan. Karena hanya bersifat lahiriah, maka pertentangan dalam kasus kedua ini pada hakekatnya tidak ada. Kemungkinan ketiga, temuan akal belum pernah disebutkan dalam nash, yaitu masalah atau pemikiran mengenai masalah yang maskutah (didiamkan alias tidak pernah dibicarakan dalam al-Qur'an dan al-Hadits baik secara langsung maupun tidak langsung). Dalam kasus yang ketiga ini, menurut Ibn Rusyd, tidak boleh dikatakan ada kontradiksi lantaran nash tidak berbicara.


Sangat disayangkan, semangat dan budaya keilmuan yang integrated ini praktis terhenti di kalangan Muslim Sunni di wilayah atau kawasan Timur Islam pada era kemunduran, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 1258 M. Kota Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan dan peradaban Islam ketika itu jatuh untuk pertama kalinya oleh serbuan bangsa Mongol di bawah pimpina Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, penakluk dari Timur yang terkenal kejam dan bengis. Kota Baghdad jatuh untuk kedua kalinya oleh serbuan tentara Amerika dan sekutu-sekutunya yang kemudian mengakhiri pemerintahan Presiden Saddam Husein di Irak. Hingga abad XIX atau bahkan abad XX M. Sepanjang kurun itu tradisi dan kultur keilmuan Islam berubah menjadi "dikotomis atomistik," yang memisahkan secara vis a vis ilmu-ilmu agama (`ulum al-din) dan ilmu-ilmu umum (sains dan filsafat). Pada masa ini pula, pengertian ilmu diredusir menjadi hanya ilmu agama, dan menghormatan Islam kepada ilmuan (ulu al-`ilm, uli al-albab, uli al-abshar, uli al-nuha) mengalami penyempitan makna pula, yaitu hanya kepada ulama yang dalam kultur Indonesia menyempit lagi hanya kepada faqih, yaitu kyai yang menguasai bidang hukum Islam, khususnya fiqh al-`ibadat, yang meliputi bidang thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji saja.

PEMBAHASAN 

  • Gagasan mengenai perkembangan Islamisasi Ilmu Menuju  Konsep Integrasi ilmuisasi Islam

Pada masa dahulu agama islam pernah mengalami kejayaan luar biasa dan sejarah menyebutnya dengan masa keemasan, yaitu pada masa kekhalifahan Abbasiah. Hal ini ditandai dengan maraknya  kajian  tentang ilmu pengetahuan dan agama secara integrasi, sehingga Islam saat itu menjadi mercusuar dunia, baik di belahan Timur maupun Barat. Masa tersebut mampu memproduk para saintis dan filosof Muslim kelas dunia dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, bidang fiqih: Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal; bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Abu Yazid; bidang sains: Ibnu Hayyam, al Khawarizmi, al-Razi, dan al-Mas'ud (2 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.13

Realisasi fenomena di atas dikarenakan ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama dipadukan sebagai satu totalitas dan integralitas Islam yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya secara dikotomis. Posisi ilmu pengetahuan dan siapapun yang mencarinya secara religius dipandang tinggi dan mulia. Mereka mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan filsafat dengan tidak bertendensi pada persoalan materi semata, melainkan karena semangat religiusitas dan termotivasi oleh sebuah keyakinan bahwa aktivitas tersebut merupakan bagian integral dari manifestasi aplikasi agama atau perintah Allah (Muhammad Quthb, Qabasat min al-Rasul, (Makkah: Dar al-Syarqi, 1982), h. 42-43

Namun sekitar pertengahan abad ke-12 M, kegemilangan umat Islam di bidang keilmuan sedikit demi sedikit mulai menjauhi dunia Islam. Hal  tersebut bermula sejak terjadinya disintegrasi pemerintahan Islam yang berakibat pada munculnya sekte-sekte politik yang separatif-kontradiktif. Sebagian sekte, secara politis memproklamirka tertutupnya pintu ijtihad dan menggiring umat pada pemaknaan agama yang eksklusif serta mengisolasikan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dimensi agama. Hal ini otomatis berimbas pada stagnasi sains Islam, serta berimplikasi pada kelumpuhan umat dalam berbagai aspek kehidupan; baik militer, ekonomi, politik, maupun aspek keilmuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun