Mohon tunggu...
Nunung Dwi Nugroho
Nunung Dwi Nugroho Mohon Tunggu... Editor - Est 1992

Est 1992

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Analisis Kritis Konsep Hiperrealitas dalam Film -------- Menguak Sisi Hiperrealitas dalam Film-film Animasi Marvel Tentang Superhero

24 Oktober 2014   09:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:55 2538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Generasi muda saat ini atau hampir semua orang pasti mengenal tokoh-tokoh seperti Iron Man, Thor, X-Men, Hulk, Captain America, Black Widow, maupun Spiderman. Ya, tokoh-tokoh diatas merupakan tokoh-tokoh superhero yang diproduksioleh Marvel. Marvel Comics sendiri merupakan sebuah perusahaan animasi asal Amerika Serikat yang memproduksi berbagai serial terkait kisah-kisah superhero sejak tahun 1939. Pada awalnya tokoh-tokoh tersebut diciptakan untuk hiburan masyarakat yang diedarkan dalam bentuk komik. Namun kini kisah-kisah Marvel juga mulai diangkat ke layar lebar. Saat ini hampir semua masyarakat dari segala kelompok usia mengenal, pernah membaca, dan atau pernah menonton paling tidak satu dari sekian banyak film pahlawan super Marvel. Film yang diproduksi kini benar-benar berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Bahkan kita juga dapat menemukan masyarakat yang secara gila-gilaan memuja tokoh-tokoh pahlawan super Marvel dan mengoleksi berbagai merchandise yang berhubungan dengan idolanya tersebut.

Kemunculan film-film Marvel ternyata juga menunjukkan adanya gejala yang disebut Jean Baudrillard sebagai Hiperrealitas. Jean Baudrillard merupakan salah satu tokoh yang mencoba menguak perubahan karakter masyarakat modern. Ia hendak mengungkapkan bentuk perubahan yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini yang ia sebut sebagai masyarakat simulasi dan hiperrealitas. Ia mengembangkan pemikirannya yang dapat digunakan untuk melihat realitas dalam masyarakat modern, terutama masyarakat konsumer. Lalu bagaimana bentuk dan ekspresi hiperrealitas yang ada dalam film-film Marvel? Serta bagaimana melihat propaganda Amerika yang dibawa dalam film tersebut? Pertanyaan tersebut akan coba dijawab dalam paparan sebagai berikut.

Film Sebagai Media yang Berpengaruh dalam Masyarakat Kontemporer

Berbagai macam film, dengan berbagai macam genre yang ditonton masyarakat memiliki kekuatan dan pengaruh yang teramat besar. Hal tersebut dikarenakan film tersebut menyajikan bermacam image yang dapat merasuki kita lebih mendalam jika dibandingkan dengan media lain karena image yang tersaji dalam film menyediakan ilusi yang lebih kuat, khususnya terkait pemahaman realitas. Dalam film, sang sutradara memiliki kemampuan untuk menunjukan realitas yang ada dalam kepalanya dengan audio-visual dengan menggunakan simbol dan tanda yang mudah dicerna dan gampang diingat oleh semua penikmatnya. (Kloker, 2001:3)

Keterkaitan antara film dan masyarakat memiliki sejarah panjang. Oey Hong Lee (1965:40) dalam Sobur (2006:126) mengungkapkan bahwa film sebagai alat komunikasi massa yang kedua di dunia, dalam permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah muncul menjadi alat komunikasi yang sejati, namun kemudian merosot tajam dengan kehadiran televisi. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmentasi sosial, membuat para ahli percaya bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayak. Dalam penelitian dampak film, umumnya film dan masyarakat hanya dipahami sebagai sesuatu yang linier, artinya, film selalu mempengaruhi masyarakat berdasarkan muatan pesan di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya.

Menonton film tentu terkait dengan medium film itu sendiri. Karakteristik film akan membentuk penonton, berbeda dengan karakter dari media lainnya. Berikut beberapa karakter film dan mediumnya yang juga mempengaruhi karakter penonton:

·Lebar atau tidaknya layar. Luasnya pandangan visual memberikan keleluasaan penonton untuk melihat adegan yang ditampilkan, terlebih dengan teknologi film tiga dimensi yang memungkinkan penonton tidak berjarak dan seolah-olah melihat kejadian nyata.

·Pengambilan Gambar. Hal ini digunakan untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya hingga film menjadi lebih menarik. Selain itu wilayah shot yang luas memungkinkan penonton mengetahui situasi sesungguhnya dalam film dan penonton dapat merasakan seolah-olah berada di tempat tersebut.

·Konsentrasi. Karakter lainnya adalah film biasanya akan menyita konsentrasi penuh dari penonton, sebab menonton film adalah sebuah pilihan sadar. hal ini membuata penonton film lebih mudah hanyut dan larut dalam cerita yang ditampilkan.

·Identifikasi factor psikologis. Penonton film di bioskop seringkali secara tidak sadar mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang dilihat di dalam film dan hal ini merupakan identifikasi psikologis yang muncul dalam menonton sebuah film. (Adrianto, dkk. 2007:145-147)

Kini berbagai film dengan beragam genre dapat dilihat makin membanjiri pasaran dengan datang sekaligus bersama dengan berbagai pengaruhnya. Salah satu yang menarik perhatian adalah film yang mengangkat kisah heroic sang pahlawan super. Film-film yang diproduksi dengan mengambil tema kepahlawanan ini benar-benar berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Saat ini hampir semua masyarakat dari segala kelompok usia mengenal atau pernah menonton paling tidak satu dari sekian banyak film bergenre ini. Bahkan kita juga dapat menemukan masyarakat yang secara gila-gilaan memuja tokoh pahlawan super dan mengoleksi berbagai merchandise yang berhubungan dengan superhero idolanya. Lalu bagaimana realita ini ditangkap dengan menggunakan kacamata konsep hiperrealitas?

Hiperrealitas : Upaya Menjelaskan Kondisi Masyarakat Kontemporer

Dalam pemaparan singkat ini, penulis mencoba mengerangkai keseluruhan isi tulisan dengan menggunakan konsep Hiperrealitas. Konsep ini begitu signifikan dalam upaya menjelaskan kondisi budaya masyarakat kontemporer saat ini, terkait keberadaan sifat konsumerisme. Hiperrealitas sendiri dapat diartikan sebagai ketidakmampuan kesadaran kita untuk membedakan antara kenyataan dari fantasi terlebih pada era kemajuan teknologi budaya postmodern. Kita mungkin tahu bahwa sosok superhero seperti Spiderman itu sejatinya tidak ada, namun masih saja banyak orang yang tergila-gila dengan membeli sesuatu (misalnya DVD, merchandise, kostum, dan lain sebagainya) terkait dengan Spiderman, atau bahkan inginbertemu dengannya secara langsung. Masyarakat sudah tidak bisa menentukan mana ilusi dan yang mana bukan ilusi, yang penting beli, agar bisa dianggap sebagai fans fanatic, dan kaum yang mengikuti perkembangan jaman.

Banyak pemikir yang mencoba mendeskripsikan apa itu hiperrealitas. Pemikiran Umberto Eco dalam Travels in Hyper-reality (1986) misalnya, menjelaskan bahwa hiperrealitas merupakan semua hal yang merupakan replikasi dari unsur-unsur masa lalu yang dihadirkan oleh konteks masa kini layaknya sebagai sebuah nostalgia. Sehingga ketika masa lalu tersebut dihadirkan di dalam konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas, dengan pengertian masa lalu dapat tampak seakan lebih nyata dari kenyataan yang dicopynya, sehingga menciptakan sebuah kondisi meleburnya salinan dan aslinya (Eco, 1986:43-48). Dalam fenomena hiperrealitas masih ada prinsip-prinsip representasi, dimana tiruan yang diproduksi masih merupakan representasi dari rujukan atau referensi sebelumnya.

Sementara itu, Jean Baudrillard mendefinisikan hiperrealitas sebagai sesuatu yang tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri, dalam hal ini salinan dan asli adalah obyek yang sama. Dunia hiperrealitas merupakan sebuah produk dari simulasi, representasi bukan merupakan prinsip pembentuk hiperrealitas. Dunia kita saat ini adalah dunia simulasi di mana keberadaan simulasi telah tersebar luas di berbagai media, termasuk film. Pandangan kritis postmodern melihat film ataupun tayangan televisi justru tidak mendasarkan pada realitas dasar (muncul simulasi yang sempurna).

Pada kondisi seperti ini, maka simulasi realitas pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang memiliki tujuan tertentu, yaitu membentuk suatu persepsi yang cenderung palsu dimana seolah-olah mewakili realitas yang ada. Di satu sisi menyatakan keberadaan, di sisi lainnya tidak eksis. Maka, jika sebuah film menunjukkan visual yang tidak bisa lagi diterima sebagai fakta yang alami, maka substansi film tersebut telah disimulasikan dari obyek yang sesungguhnya ada atau tidak ada sama sekali.

Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat dewasa ini. Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat yaitu kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol (Baudrillard, 1983: 20). Pemikiran Baudrillard tentang dunia simulasi dan  gagasan tentang fenomena hiperrealitas dapat dijelaskan secara gamblang dan menjadi mudah dipahami melalui film, televisi dan video game (Baudrillard, 1987: 33). Dalam wacana televisi, film dan video game mengikuti Baudrillard bergumul pelbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan ilusi, kebenaran dan kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga seolah-olah nyata.

Realitas dalam film misalnya, menjadi realitas simulasi: realitas buatan yang dihasilkan melalui proses produksi dan reproduksi berbagai unsur sehingga tidak mungkin lagi diketahui mana yang asli dan mana yang palsu. Baudrillard melihat bahwa semua ini hanyalah mistifikasi yang dijejalkan para kapitalisdemi produksi dan konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa pilihan dan otonomi penonton televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987: 16).

Hiperrealitas dalam Film-Film Marvel

Marvel Comics sendiri merupakan sebuah perusahaan animasi asal Amerika yang memproduksi berbagai serial terkait kisah-kisah kepahlawanan super / superhero sejak tahun 1939. Kini Marvel berkembang dengan menggelontorkan berbagai film bertemakan kepahlawanan / superhero seperti Iron Man, Hulk, Captain America, Black Widow, Thor, X-Men, Spiderman, dan lain sebagainya.Film-film Marvel diceritakan terjadi di kota-kota besar di Amerika Serikat seperti New York, California, Washington DC, New Mexico, dan lain sebagainya. Berbagai peristiwa yang menghidupkan cerita merupakan kejadian yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Teknologi yang digunakan dalam film juga menyerupai teknologi yang kita gunakan dan yang perkirakanjuga akan digunakan pada masa depan. Begitu dekatnya citra yang dibuat oleh sang sutradara dan tim animasi sehingga mengaburkan garis antara yang nyata dan yang tidak nyata di mata penonton. Keadaan tersebut disebut sebagai hiperrealitas.

Dengan citraan yang disajikan melalui film-film, (serta beragam mainan, dan komik) Marvel agaknya masyarakat masa kini tidak lagi melihat adanya batas antara yang nyata dan yang tidak nyata. Sebagian besar masyarakat (dengan kelompok usia tertentu) mungkin masih dapat melihat batasan itu, tetapi masyarakat dengan kelompok usia muda (anak kecil, remaja) akan kesulitan untuk dapat melihat batasan itu. Mereka akan menganggap bahwa Amerika Serikat merupakan tempat bermukim semua pahlawan super. Generasi muda juga akan sangat mudah mempercayai keberadaan monster, robot jahat pemecah kedamaian, dan lain-lain yang sejatinya mereka hanyalah fiktif belaka.

Tokoh-tokoh Marvel merupakan sebuah produk budaya populer Amerika Serikat. Kebudayaan baru yang mereka ciptakan melalui teknologi bukanlah sebuah kebudayaan sejati melainkan hanya sebuah kebohongan kosong. Dengan prinsip-prinsip hiperrealitas, simulakra, dan simulasi, keberadaan hal ini bisa membombardir ruang kehidupan yang ada. Kebudayaan Amerika, menurut Baudrillard, adalah kebudayaan yang mencampuradukkan dan sekaligus merayakan kegairahan serta permainan nilai-nilai. Di sanalah kebanalan, kevulgaran dan kecabulan bersanding dengan kesopanan, intelektualitas, etika serta estetika.

Film-Film Marvel : Simulasi dan Simulakra

Salah satu istilah yang digunakan oleh Baudrillard adalah simulasi dan simulacra. Simulasi dan simulakra adalah istilah yang untuk mengetahui hubungan antara realitas, simbol, dan masyarakat. Masyarakat modern sejatinya telah menggantikan semua realitas dan makna dengan simbol dan tanda. Simulakra bukanlah citraan realitas dan bukan juga sebuah tipuan citraan realitas. Simulakra tidak didasari oleh realitas dan tidak pula menyembunyikan realitas, yang mereka sembunyikan adalah segala sesuatu yang tampak seperti realitas dan tidak memiliki hubungan dengan pemahaman kita tentang kehidupan kita

Simulakra yang dimaksud Baudrillard adalah pemaknaan dan penyimbolan budaya dan media yang membangun realitas yang dapat dipahami. Perolehan pemahaman di mana kita hidup dan eksistensi bersama menjadi sangat terbaca. Baudrillard percaya bahwa masyarakat menjadi begitu jenuh dengan simulakra dan kehidupan kita jenuh dengan konstruksi masyarakat bahwa semua yang bermakna menjadi tidak lagi bermakna karena telah jauh berubah

Simulasi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah tindakan meniru, dengan tujuan untuk menipu, atau semacam teknik meniru dari beberapa situasi atau proses melalui analogi dan alat yang sesuai. Simulasi sendiri tidak harus sesuatu yang rasional. Simulasi dapat merupakan sesuatu yang menarik minat manusia, termasuk tokoh khayalan. Simulasi juga akan sebarluaskan kepada masyarakat melalui media secara berulang sehingga konsep tersebut tertanam di dalam benak masyarakat. Simulasi merupakan usaha untuk mengubah gambaran tentang dunia nyata melalui imajinasi. Proses simulasi membawa masyarakat untuk menikmati sebuah realitas, padahal realitas itu hanya realitas semu atau kosong belaka.

Dalam kasus berbagai film yang diproduksi oleh Marvel, simulasi muncul dari kondisi pada saat cerita ditulis; Perang Dunia II. Amerika Serikat pada saat Perang Dunia II berada dalam blok Sekutu, dimana setiap orang mengharapkan kehadiran sosok pahlawan super yang dapat menghentikan kekejaman perang yang terjadi. Standar sosok pahlawan diciptakan berupa sosok yang rupawan, berbadan kekar, memiliki kekuatan super, namun fiktif. Mereka kemudian menghidupkan tokoh-tokoh pahlawan super yang diciptakan dalam imajinasinya. Para superhero ini kemudian diberikan sebuah tempat mereka dalam upaya memberantas kejahatan. Realitas tempat para pahlawan super tinggal adalah realitas cerita yang sebenarnya adalah realitas nyata yang dialihkodekan.

Simulasi realitas tersebut menjadi angin segar serta hiburan alternative bagi masyarakat yang berada di dalam kondisi kacau saat berperang pada masa itu. Cerita-cerita Marvel sendiri sampai sekarang tidak lekang oleh waktu karena alur dan latarnya mengikuti realitas nyata. Hal itu terbukti dengan masih hidupnya tokoh-tokoh Marvel di dalam masyarakat modern saat ini yang tidak lagi berada dalam situasi perang secara fisik.

Untuk tetap menghidupkan para pahlawan super, pihak Marvel melakukan simulasi secara berkelanjutan dan terus menerus supaya konsep tentang kedamaian dunia yang dijaga oleh pahlawan super tersebut tidak mudah tergerus jaman. Simulasi yang ditampilkan begitu meyakinkan misalnya dalam penggunaan latar belakang lokasi pengambilan cerita adalah kota-kota besar di Amerika Serikat, latar waktu disesuaikan dengan cerita dan begitupun juga dengan kejadian yang sedang aktual atau pun telah terjadi pada kehidupan nyata. Simulasi tersebut didukung juga dengan tokoh sentral yang biasanya warga kota setempat dan memiliki pekerjaan utama seperti penduduk kebanyakan.

Simulakra merupakan sebuah kondisi ketika perbedaan antara realitas dan simulasi tidak lagi bisa dibedakan. Simulakra menggantikan kode yang dibentuk dari kenyataan menuju pada kenyataan itu sendiri dengan menggunakan media dan tanda-tanda yang menghasilkan kode yang nyata. Ruang di mana mekanisme simulasi berlangsung inilah disebut sebagai simulakra.

Simulakra film-film Marvel terjadi pada rentang waktu pasca Perang Dunia II hingga sekarang. Peran media dan perkembangan teknologi juga ikut berperan besar dalam mengaburkan jarak antara yang abstrak dan yang konkret. Ada dua perubahan dalam simulakra periode ini yaitu perubahan konkret ke abstrak dan sebaliknya. Dalam film-film Marvel perubahan dari bentuk konkret ke abstrak ditemukan dalam pengalihkodean nilai-nilai kehidupan sehari-hari di dunia nyata, berupa latar tempat, latar waktu, dan juga alur cerita yang ditampilkan kembali di realitas cerita. Sedangkan perubahan abstrak ke konkret ditunjukkan dengan tokoh pahlawan super yang menjadi tokoh utama. Dalam kehidupan nyata, kita tidak akan menemukan manusia berkekuatan super yang bertugas menjaga perdamaian dunia. Pemindahan simbol dapat dengan mudah dipahami dan diterima masyarakat karena latar waktu, latar tempat, dan isu yang diangkat sebagai alur cerita dialihkodekan dari sesuatu yang nyata dan cukup aktual.

Marvel mengeluarkan berbagai film yang menceritakan pahlawan supernya secara terpisah namun terdapat kesamaan pada film ini yaitu pengalihkodean. Dengan dikeluarkannya film-film Marvel secara bertahap dan pengulangan simulasi dengan kode yang sama, konsep tentang pahlawan super sudah tertanam di pikiran masyarakat sehingga tercipta simulakra bahwa kita hidup berdampingan dengan para pahlawan super. 

Hiperrealitas dan Masyarakat Konsumtif

Keberadaan dan begitu dahsyatnya Marvelyang merajai industri film kontemporer berdampak pada munculnya berbagai komoditas baru di dunia ekonomi. Tokoh-tokoh Marvel kini diproduksi secara massal dalam berbagai bentuk, sepert action figure, DVD, video game, dan juga beragam bentuk merchandise. Marvel Toys, produsen mainan asal Kanada merupakan perusahaan yang memiliki lisensi untuk memproduksi action figure, dan beragam merchandise para superhero Marvel.

Bagi produsen, memproduksi action figure, merchandise, dan video games Marvel ke berbagai belahan dunia adalah lahan bisnis yang menggiurkan dari sisi keuntungan, karena Marvel sudah memiliki pasar yang jelas yaitu para penggemar tokoh-tokoh Marvelitu sendiri. Komoditi seperti mainan, dan action figure ini adalah bentuk citra lain yang sedang ditanamkan ke dalam pikiran khalayak bahwa pahlawan super dalam beragam film yang diproduksi oleh Marvel adalah sosok yang pantas dijadikan idola.

Baudrillard, dalam For a Critique of the Political Economy of the Sign (1981) menyatakan bahwa konsep nilai guna dan nilai tukar yang disarankan Marx, kini telah digantikan oleh keberadaan nilai tanda dan nilai simbol. Beragam bentuk permainan Marvel produksi Marvel Toys tidak lagi memiliki nilai guna dan nilai tukar, namun hanya diciptakan untuk memenuhi nilai tanda dan nilai simbol saja. Seorang penggemar Marvel yang membeli mainan Marvel bisa jadi hanya ingin mendapatkan nilai tanda dan nilai simbol yang biasanya berupa status maupun prestige. Dengan membeli mainan Marvel, seseorang bisa mendapatkan status sebagai penyuka atau maniak film, gaul, dan mencitrakan seseorang yang mengikuti perkembangan jaman.

Refleksi : Hiperrealitas dan Propaganda dalam Film Superhero Marvel

Pernahkah kita berpikir bahwa hiperrealitas dalam film produksi Marvel yang penulis kupas diatas bisa saja diciptakan untuk tujuan tertentu? Banyak orang yang tidak berpikir lebih dalam tentang arti film yang sesungguhnya. Sesungguhnya, film mengandung makna dan tujuan yang disadari atau tidak dapat mempengaruhi para penontonnya. Salah satu contoh adalah sebuah propaganda. Propaganda menjadi salah satu tujuan diproduksinya sebuah film. Kali ini, tak hanya melihat dari segi ekonominya saja bahwa sebuah film sekadar menghasilkan pendapatan yang sangat melimpah, eksistensi, dan keuntungan tambahan melalui penjualan merchandise, tetapi juga berusaha memandang sebuah film dari makna dan tujuan yang tersirat. Termasuk didalamnya film superhero Marvel. Ambil contoh saja film Iron Man 2.

Dalam film Iron Man 2 ini, tampak adanya ideologi yang dimasukkan yaitu ideologi sang negara empunya, film; Amerika. Sang sosok utama, Anthony Stark, dalam film ini menjadi sosok baik yang memberantas kejahatan dengan menggunakan berbagai teknologi mutakhir yang dirancang khusus oleh negara adikuasa tersebut. Sosok itu harus menjadi pihak yang menang dan mengagumkan. Di sinilah letak penanaman ideologi yang dilakukan oleh pembuat film Hollywood. Sadar ataupun tidak, mau tidak mau dunia menerima hal ini sebagai sesuatu yang cool dan semakin lama membuat mata semakin terhipnotis dengan ideologi tersebut.

Terlebih lagi dengan adanya kecanggihan-kecanggihan teknologi dan intelegensi yang sengaja diperlihatkan dalam setiap adegan pada film tersebut. Ini akan membuat image Amerika bertambah baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Dunia semakin sulit untuk menolak film-film bergenre seperti ini dan cenderung kurang mengapresiasi film yang diproduksi oleh negara sendiri. Di samping itu, film ini seakan menghidupkan kembali sesuatu hal bersejarah yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Amerika. Perang dingin antara Amerika dan Rusia lebih tepatnya. Amerika memanfaatkan kehidupan bersejarah tersebut dalam menyebarkan dan menanamkan ideologinya kepada masyarakat kontemporer melalui berbagai hiperrealitas dalam film-nya.

Hal bersejarah tersebut memang terkait dengan film Iron Man 2 ini, yaitu ketika Stark (pahlawan dari Amerika) harus bersaing dan mengalahkan musuhnya yakni orang Rusia. Tentu saja pemenangnya telah diketahui dan ini memunculkan pandangan bahwa Amerika selalu ingin menjadi yang terdepan dan nomor satu. Sedangkan orang Rusia yang digambarkan dalam film tersebut adalah seorang pemabuk, bertatto, dan dekil, menjadi pihak jahat dan bersalah. Inilah salah satu cara pembuat film menyisipkan ideologi ala Hollywood, yang berpegang pada ideologi negara adikuasa; Amerika.

Pemaparan di atas setidaknya cukup memberikan gambaran bahwa film sekeren itu ternyata menyimpan sesuatu yang kadangkala dianggap tidak adil karena apa yang dimasukkan ke dalam cerita tersebut terkesan memandang pihak lain hanya dengan sebelah mata. Namun, sepertinya ketidakadilan ini tetap kurang diperhatikan oleh dunia karena memang diakui dari sudut manapun film-film berbau Hollywood terlihat bagus.

Musuh Amerika adalah mereka yang dilihat dari segi kebudayaannya memang jauh lebih kaya dan beragam. Mungkin begitulah cara bangsa Amerika ini tetap ingin terlihat nomor satu di antara bangsa-bangsa yang sebenarnya kaya akan seni dan budaya. Propaganda melalui film dengan beragam hiperrealitasnya adalah cara paling tepat untuk itu dan Amerika mampu mengemasnya dengan begitucantik dan bermartabat.



Referensi:

A Short History of Marvel Movie. The Weekly Crisis. http://www.weeklycrisis.com/2010/04/short-history-of-Marvel-movies.html

Baudrillard, Jean. The Procession of Simulacra. Simulacra and Simulation. Terj. Sheila Faria Glaser. http://www9.georgetown.edu/faculty/irvinem/theory/Baudrillard-Simulacra_and_Simulation.pdf

Hall-Geisler, Kristen. “The Cars in Iron Man’s Garage”. About.comhttp://exoticcars.about.com/od/famousfilmcars/a/IronManGarage.htm

Hidayat, Medhy Aginta. (2008). Kebudayaan Posmodern Menurut Jean Baudrillard. http://socialpolitic-article.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-postmodern-menurut-jean.htmldiakses pada 4 Januari 2013 pukul 19.51 WIB

Hidayat, Medhy Aginta. (2008). Kebudayaan Posmodern Menurut Jean Baudrillard.

http://www.filmschoolrejects.com/features/culture-warrior-a-marxist-reading-of-iron-man-2.php

http://www.mtholyoke.edu/courses/sgabriel/post_structuralism.htmdiakses pada 30 Desember 2013 pukul 20.24 WIB

http://www.philosopher.org.uk/poststr.htmdiakses pada 30 Desember 2013 pukul 20.24 WIB

Jean Baudrillard. The Procession of Simulacra. Simulacra and Simulation. Terj. Sheila Faria Glaser.

Jim Supangkat. Urban Culture. 2005. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 40

Mendoza, Daryl Y. Commodity, Sign, and Spectacle: Retracing Baudrillard’s Hyperreality. Desember 2010. http://www.kritike.org/journal/issue_8/mendoza_december2010.pdf

National Cinema, Political Economy, and Ideology http://www.filmreference.com/encyclopedia/Independent-Film-Road-Movies/National-Cinema-NATIONAL-CINEMA-POLITICAL-ECONOMY-AND-IDEOLOGY.html

Sandoz, Devin. Winter 2003. http://csmt.uchicago.edu/glossary2004/simulationsimulacrum.htmdiakses pada 31 Desember 2013 pukul 17.37 WIB

Saul Landau, The Film Industry : Business and Ideology http://www.counterpunch.org/landau08022003.html

Supangkat, Jim. Urban Culture. 2005. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.

Toy Biz, Inc. http://www.fundinguniverse.com/company-histories/Toy-Biz-Inc-Company-History.htmldiakses pada 4 Januari 2013 pukul 22.23 WIB

Ada empat tahapan agar dapat menghasilkan simulasi yang sempurna, yaitu pertama berupa pencitraan sebagai refleksi dari realitas dasar. Kedua, menutupi dan menyesatkan realitas dasar, Ketiga, menutupi ketidakhadiran realitas yang dasar. Keempat, tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas manapun (Piliang, 2003: 134).

Hiperrealitas adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan yang bahkan nampak lebih riil dibandingkan dengan realitas sebenarnya. Manusia modern hidup di dalam hiperrealitas karena mereka terlalu banyak menciptakan realitas-realitas utopis, menyimulasikan secara sangat sempurna, dan kemudian mengulangi simulasi tersebut sehingga mereka percaya bahwa realitas utopis itu benar adanya. Hiperrealitas pada akhirnya menciptakan keadaan ketika sesuatu yang nyata bercampur dengan sesuatu yang abstrak atau keadaan di mana sudah tidak ada lagi perbedaan mana yang nyata dan mana yang abstrak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun