Korupsi, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial kian mengakar di negeri yang dikenal religius ini. Ironis, ketika masjid dan gereja selalu penuh, rumah ibadah tak pernah sepi, dan ritual keagamaan dilakukan hampir setiap hari, namun praktik curang dan pengkhianatan amanah tetap merajalela.Â
Fenomena ini menjadi cermin bahwa rasa takut pada Tuhan kian memudar, digantikan oleh kepentingan sesaat dan kerakusan duniawi. Bukan berarti bangsa ini tidak beribadah, melainkan ibadah telah kehilangan ruhnya sebagai penuntun akhlak dan perilaku.
Ironi Religiusitas dan Realita
Indonesia sering disebut sebagai bangsa religius. Suara azan berkumandang di seluruh pelosok negeri, doa-doa diucapkan dengan khidmat, bahkan aktivitas keagamaan kerap dijadikan identitas kebangsaan.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain: korupsi terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan, ketidakadilan hukum kerap dipertontonkan, dan ketimpangan sosial semakin nyata.
Laporan Transparency International mencatat bahwa Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2023 hanya berada di angka 34 dari 100, menandakan masih kuatnya budaya suap, kolusi, dan praktik curang. Di sisi lain, World Bank menunjukkan jurang ketimpangan makin lebar: 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan nasional.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah ibadah hanya berhenti pada ritual? Apakah beragama hanya sekadar simbol, tanpa menuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari?
Rasa Takut pada Tuhan yang Memudar
Takut kepada Tuhan sejatinya bukan sekadar gentar pada hukuman, melainkan kesadaran penuh bahwa manusia selalu diawasi. Ia berarti menjaga kejujuran meski tidak ada yang melihat, menolak korupsi meski ada kesempatan, serta menegakkan keadilan meski harus berhadapan dengan tekanan.
Sayangnya, banyak orang lebih takut kepada hukum manusia dibanding kepada murka Allah. Buktinya, praktik suap dan gratifikasi dilakukan secara terang-terangan, hanya demi menghindari sanksi hukum, bukan karena takut dosa.Â