Di sebuah sudut tenang di Jalan Pajajaran No. 50-51 Kota Bandung, berdiri sebuah sekolah yang tak hanya menjadi tempat belajar, tapi juga rumah harapan bagi anak-anak tunanetra, Sekolah Luar Biasa Negeri A Pajajaran (SLBN A Pajajaran).
SLBN A Pajajaran telah mengabdi lebih dari delapan dekade, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kini, sekolah bersejarah itu menghadapi ancaman serius: penggusuran gedung yang telah menjadi saksi hidup perjuangan anak-anak dengan disabilitas.
Pemerintah, melalui Kementerian Sosial RI, berencana mendirikan Sekolah Rakyat di kawasan Wyata Guna, Bandung. Sebuah program yang sesungguhnya baik dan layak didukung.Â
Namun yang menyayat hati, rencana ini akan menggusur gedung SDLB dan SMPLB milik SLBN A Pajajaran; padahal sekolah ini masih aktif dan dibutuhkan, serta telah berdiri jauh sebelum Sekolah Rakyat dirancang.
Lebih dari Sekadar Sekolah
SLBN A Pajajaran bukan sekadar bangunan. Ia adalah tempat anak-anak dengan keterbatasan melihat dunia melalui suara, sentuhan, dan semangat.Â
Di setiap ruang kelasnya, terdengar tawa kecil yang sedang belajar membaca huruf braille, menghafal ayat-ayat suci, memainkan angklung, atau sekadar mengeja nama mereka sendiri dengan susah payah.Â
Di tempat ini, gelap bukan penghalang; melainkan ruang untuk menyalakan cahaya dari dalam.
"Anak saya belajar mengenal diri, belajar berjalan dengan percaya diri. Sekolah ini bukan cuma tempat belajar, ini rumah harapan," tutur seorang ibu dengan mata berkaca-kaca saat ditanya tentang ancaman penggusuran.
Guru-gurunya bukan pendidik biasa. Mereka adalah penjaga mimpi, penyulut semangat, sekaligus keluarga kedua bagi murid-murid yang seringkali merasa asing di dunia luar. Mengajar di sini bukan sekadar profesi, ini panggilan jiwa.