Bayangkan, membuka rekening cukup dari ponsel, mentransfer dana dalam hitungan detik, dan mengajukan pinjaman tanpa tatap muka. Semua serba cepat, praktis, dan tanpa antre.Â
Namun di balik kemajuan itu, terselip satu pertanyaan besar: apakah kecanggihan bank digital tengah menggerus ruang interaksi manusia yang selama ini menjadi ruh layanan perbankan?Â
Di era algoritma dan chatbot, masihkah kita membutuhkan sapaan hangat petugas bank di balik meja layanan?
Transformasi Finansial di Ujung Jari
Indonesia tengah menyaksikan revolusi besar-besaran dalam lanskap keuangan. Kemunculan bank digital seperti Jago, Blu, Line Bank, hingga SeaBank menandai pergeseran signifikan dari model perbankan konvensional menuju dunia yang serba daring.Â
Berdasarkan data OJK, pengguna layanan keuangan digital meningkat drastis dalam tiga tahun terakhir, terutama di kalangan milenial dan Gen Z yang mendambakan kecepatan serta kemudahan.
Dengan dukungan teknologi canggih seperti artificial intelligence (AI), electronic Know Your Customer (e-KYC), dan verifikasi biometrik, bank digital tak hanya memangkas proses birokrasi, tetapi juga mengurangi biaya operasional.Â
Tak heran, banyak nasabah kini lebih memilih membuka rekening dari rumah ketimbang datang ke kantor cabang.
Ketika Layanan Manusiawi Digeser Mesin
Namun, di balik kemudahan itu, muncul bayang-bayang kekhawatiran: kehilangan sentuhan manusia dalam pelayanan keuangan. Tidak semua nasabah merasa nyaman berbicara dengan chatbot.Â