"Nad, kamu mau beli apa sebenarnya?" tanya Tante Nikol sesaat setelah kami memasuki pintu utama mal.
"Nadine mau lihat-lihat aja, Tan. Window shopping," sahutku sambil menaik-turunkan alis padanya.Â
"Huh, kamu tuh kebiasaan, ya, padahal tadi yang ngajak. Untung Tante ada tujuan. Tante mau nyari sepatu, tuh, udah mau jebol,"jawab Tante Nikol sambil menunjukkan ujung sepatunya. Aku hanya nyengir menanggapi ocehannya. Kami lalu berjalan santai menyisir lantai satu. Di area itu berjajar toko sepatu yang mungkin pada salah satunya ada sepatu pilihan Tante Nikol. Abram saat itu masih anteng dalam gendonganku. Bocah periang berambut jarang itu menunjuk kereta-keretaan yang berada di tengah-tengah atrium mal. Dia sepertinya ingin turun dan berjalan sendiri.Â
"Baiklah, Abram … Kakak turunin kamu, ya. Main-mainlah kamu di sini. Biar nggak bosan kayak di rumah."
Setelah janjian bahwa nanti di depan kereta-keretaan kami akan berkumpul lagi, aku sekilas melihat Tante Nikol sudah masuk ke dalam salah satu toko sepatu. Sepertinya dia menikmati sekali. Aku membiarkan tanteku itu belanja sendiri. Tak mengapa, dia perlu suasana seperti ini. Sementara di depanku, Abram masih terlihat berjalan pelan di luar pagar plastik seputaran area kereta-keretaan. Aku hanya mengawasinya tak jauh dari tempatnya berjalan.Â
Aku menikmati keramaian ini. Hawa sejuk dari pendingin mal, bau harum jajanan di kedai sebelah sana, dan orang-orang berlalu lalang di depanku sambil menggendong anak masing-masing. Anganku sesaat melayang. Aku membayangkan jika itu keluargaku kelak. Punya rumah masing-masing, hidup sederhana, ah … sepertinya bahagia sekali. Aku masih melihat-lihat pemandangan manis di hadapan. Dan, tak terasa Abram sudah lepas dari pandanganku. Sial! Aku kehilangan jejaknya. Kemana perginya adik sepupuku itu.
'Aduh, Abram … kamu kemana, sih? Gawat nih, kalo sampai Tante Nikol tahu anaknya lepas.'
Aku lalu menyusuri area kereta-keretaan. Sebenarnya tempat itu tidak terlalu luas, tetapi Abram tidak ada lagi di sana! Ya Tuhan aku sangat panik saat itu. Beberapa saat aku berputar-putar di sepanjang atrium mal. Abram tak juga terlihat batang hidungnya. Di tengah-tengah rasa panik, Tante Nikol sudah berada di sampingku.Â
"Yuk, Nad, kita jalan lagi. Lho, Abram mana?"Â
Jantungku rasanya mau berhenti berdetak. "Ee … Abram hilang, Tante …," jawabku lirih.Â
"Haaa … hilang gimana? Kan tadi sama kamu? Aduh, gimana sih, Nad?!"Â