Oh, sepertinya aku salah. Mungkin aku memang tidak bisa melihatmu ... hmm maksudku belum. Tetapi dari sini---tempat di mana awal kehidupan semua manusia bermula---aku sangat bisa merasakan kesedihanmu.Â
Kemarin, aku merasakan kau berlari-lari di selasar kampus ketika melihat Ayah keluar dari dalam kelasnya. Ayah sepertinya malah tak acuh.Â
Terus berjalan ke tempat parkir dan bersiap pergi dengan sepeda motornya. Kau terus berteriak memanggil nama Ayah ketika dengan entengnya ia malah meninggalkanmu sendiri di tempat parkir. Kau jadi bahan tontonan teman-temanmu, Bu---teman-teman Ayah juga.
Sayup-sayup aku bisa mendengar mereka menggunjing kalian. Mengapa Ayah sekarang menjadi jahat, ya, Bu? Seolah-olah segala rasa sayangnya padamu waktu itu---yang begitu meluap-luap---kini hilang dan menguap begitu saja bersama deru sepeda motor yang dulu selalu kalian naiki bersama.
Ibu, aku merasakan getar amarahmu. Aku mendengar betapa pilu isak tangismu. Seandainya aku bisa keluar dari sini, sekarang juga aku akan loncat, lalu merengkuh dan memeluk erat pundakmu.Â
Akan kuhapus derai air matamu, Bu. Sekadar menenangkan dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.Â
Namun, ini hanya keinginan seorang anak yang didorong rasa cinta kasih menenangkan Ibunya yang sedang larut dalam nestapa. Sebab sekarang aku belum bisa berbuat apa-apa selain diam.Â
Dan pada akhirnya, kau frustasi.Â
Tiba-tiba aku merasakan kau berlari lagi. Akan tetapi, kali ini kau berlari ke tengah jalan. Suara-suara klakson mobil saling bersahutan memekakkan telingaku.
Ibu, apa yang sedang kau lakukan? Aku merasakan benturan amat keras mengenai tubuhku. Aku kesakitan, Bu! Kini, aku mendengar suara hiruk pikuk orang-orang mengelilingimu.Â
Kita diangkat masuk ke dalam mobil lalu suara sirine yang meraung-raung terdengar menyayat hati. Kita mau dibawa ke mana, Bu?Â