Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi dan anak-anak. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Delapan Belas Tahun

17 Januari 2021   19:35 Diperbarui: 17 Januari 2021   19:41 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest/Michaell Magrutsche

"Jika ada seorang anak yang sengaja durhaka pada Ayahnya di dunia ini, kemungkinan besar itu adalah aku. Jika ada anak yang mungkin tidak menghargai 'jerih payah' seorang Ayah selama masa hidupnya, bisa dipastikan itu juga aku. Namun, jika ada seorang anak yang harus ikhlas menerima Ayah kembali, maaf ... itu bukan aku."

 -Millen-

Aku masih ingat sampai detik ini, waktu Ayah pergi meninggalkan kami. Aku berjarak kira-kira sepuluh langkah di belakang Ibu saat Ibu berhenti berlari mengejar Ayah. Ibu mengejar mulai dari dalam rumah hingga keluar ke pinggir jalan. Di depan kedai nasi kucing, sebelah sisi kiri gang, Ibu mengusap wajahnya yang basah oleh air mata dan keringat. Untung saja jalanan tidak begitu ramai orang berlalu lalang. Jadi, Ibu tidak sampai dibuat bahan tontonan. Saat itu hari telah surut menjelang maghrib dan Ayah tidak acuh sedikitpun--terus melesat dengan sepeda motornya--meski Ibu terus berteriak memanggil-manggil.

Umurku memang masih delapan tahun waktu itu, tetapi aku sudah bisa merekam dengan baik banyak kejadian yang tak baik antara Ayah dan Ibu. Aku bahkan masih ingat betul, saat mereka selesai bertengkar--yang entah pemicunya apa--di suatu malam. Dengan beringasnya Ayah membakar semua arsip dan dokumen penting keluarga kami. Ibu panik! Berteriak-teriak histeris sambil mencoba menyelamatkan arsip serta dokumen itu dengan cara mengambil satu ember air.

"Kamu gila, Mas! Sinting! Setan mana yang telah merasukimu?! Kenapa bukan otakmu saja yang kau bakar?!" Ibu terus memaki-maki setelah menyiramkan air ke kobaran api yang melahap kertas-kertas itu dengan rakus. Akhirnya api itu bisa dipadamkan. Akan tetapi, berlembar-lembar kertas penting itu banyak yang sudah tak bisa terbaca lagi, hangus tak berbentuk, hanya menyisakan sedikit saja angka dan huruf di beberapa bagiannya. Ayah hanya tertawa menyeringai tanpa peduli. Akal sehatnya mungkin telah mati. Ya, mungkin Ibu benar, Ayah memang sinting!

Aku hanya diam termangu saat itu. Sepenuhnya belum menyadari seberapa penting dan berharganya nilai kertas itu hingga Ibu bisa marah sedemikian rupa. Padahal, boleh dibilang, Ibu termasuk wanita penyabar--setidaknya menurutku. Selama ini Ibu selalu sabar menghadapi segala tabiat buruk Ayah. Sebentar, apakah benar tabiat Ayah buruk? Ah, aku bahkan sampai sempat berpikir bahwa apa yang dilakukan Ayah terhadap Ibu itu wajar: selalu berkata kasar dan membentak. Belum cukup sampai di situ saja, Ayah juga ringan tangan, suka main pukul kepada Ibu dan aku. Hampir setiap hari. 

Aku masih ingat sampai detik ini, kerja keras Ibu untuk bisa terus membiayai sekolahku. Sebenarnya Ibu bukan perempuan yang berpendidikan tinggi. Akan tetapi beliau mempunyai keahlian membuat kue-kue jajanan pasar dan dijual dengan cara dititipkan ke beberapa toko. Tak jarang pula Ibu menerima pesanan dari tetangga yang meminta dibuatkan kue-kue untuk acara khusus mereka. Itu yang dikerjakan sehari-hari oleh Ibu demi melihat anaknya menyelesaikan kuliah.

Pasti kalian berpikir, apakah Ayahku tidak bekerja? Sebagai buruh di sebuah pabrik sepatu, tentu saja dia bekerja. Akan tetapi, dia bekerja seolah-olah tidak menghasilkan apa-apa. Upah yang seharusnya dia terima setiap minggu, entah raib kemana tanpa sempat diberikan kepada Ibu terlebih dulu. Kata Ibu, hal itu terus berulang sejak aku berumur lima tahun.

Di kali lain, Ayah juga pernah tepergok olehku sedang bersama Tante Maya, tetangga kami. Mereka sedang duduk berdua-duaan di dalam kedai nasi kucing. Aku yang saat itu belum makan--padahal di rumah sudah Ibu siapkan--melihat mereka saling suap sate telur, langsung mendekat, bermaksud hendak meminta atau setidaknya menegur mereka. Akan tetapi, Ayah malah menghardikku.

"Hei, anak sialan! Siapa yang menyuruhmu kemari, hah? Bikin malu saja, sudah sana, pulang!" Ayah berkata seolah-olah mengusir seekor kucing liar yang bertemu di pinggir jalan. Mungkin seumur hidupku itu adalah hal paling bodoh yang aku lakukan di hadapan Ayah. Dan aku masih ingat sampai detik ini.

Setelah drama pembakaran arsip dan dokumen penting malam itu, kami tidak punya jejak bukti apa-apa lagi. Mulai dari akta kelahiranku, surat-surat penting hingga sertifikat rumah. Sampai akhirnya Pak RT yang mengantar kami untuk mengurus ulang arsip dan dokumen itu ke kantor polisi dan kantor administrasi negara agar dibuatkan duplikatnya. Beruntungnya kami masih ada orang-orang yang peduli. Jadi untuk melanjutkan sekolah, aku hampir tidak menemukan hambatan yang berarti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun