Mohon tunggu...
Dr. Nugroho SBM  MSi
Dr. Nugroho SBM MSi Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka menulis apa saja

Saya Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Efektivitas DP Nol Persen Kredit Mobil Baru

4 Maret 2021   09:53 Diperbarui: 4 Maret 2021   09:58 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil Baru di Show Room (sumber gambar: kaltim.tribunnews.com)

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDGBI) bulan Februari 2021 memtuskan salah satunya adalah menetapkan uang muka (Down Payment alias DP) kredit kendaraan dan mobil baru sebesar nol persen. Beberapa ketentuan dalam kebijakan baru tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, kebijakan tersebut berlaku mulai 1 Maret 2021 sampai 31 Desember 2021. Setelah masa tersebut maka kebijakan akan ditinjau lagi. Kedua, bagi konsumen DP nol persen hanya berlaku untuk kendaraan penumpang. Untuk kendaraan niaga beroda tiga atau lebih akan dikenakan DP 5 persen. Ketiga, bagi lembaga pembiayaan maka yang boleh memberikan kredit kendaraan dengan DP nol persen adalah yang memiliki rasio kredit bermasalah atau NPL (Non Performing Loan) kurang dari 5 persen dari total kredit. Jika tidak memenuhi syarat ini maka wajib mengenakan DP 10 persen.

Kebijakan ini mendukung kebijakan pemerintah yang membayar Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru. Seperti diketahui kebijakan tersebut akan berlaku sebagai berikut. Pada Maret sampai Mei 2021 pemerintah akan menanggung seluruh PPnBM untuk pembelian mobil baru alias konsumen tak membayar sama sekali PPnBM untuk pembelian mobil baru. 

Selanjutnya, pada bulan Juni-Agustus 2021 pemerintah akan menanggung PPnBM sebesar  50 persen. Dan terakhir Bulan september-Nopember 2021 pemerintah akan menanggung hanya 25 persen PPnBM. Kebijakan insentif PPnBM ini berlaku untuk kendaraan  kurang dari 1.500 cc, atau komponen lokalnya minimal 70 persen, atau total buatan Indonesia (Completely Knock Down atau CKD).

Tujuan dari kebijakan DP nol persen dan pemberian insentif PPnBM yang dibayar pemerintah dimaksudkan untuk mendorong konsumsi yang salah satunya adalah konsumsi atau pembelian kendaraan atau mobil baru. Dengan pertumbuhan konsumsi tersebut maka akan diharapkan pertumbuhan ekonmi Indonesia akan terdorong naik setelah dua kuartal berturut-turut di akhir 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif. Pengeluaran konsumsi rumah tangga memang merupakan penyumbang terbesar dalam penggunaan pendapatan nasional. Data 2019, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,82 persen pendapatan nasional.

Di samping itu, data BI menunjukkan bahwa kredit konsumsi di Desember 2020 memang turun 0,7 persen (yoy). Kredit kendaraan bermotor turun paling dalam yaitu 24,4 persen (yoy). Sedangkan kredit pemilikan rumah justru naik 3,4 persen (yoy). Jadi kebijakan diharapkan bisa mendorong kredit konsumsi pemilikan kendaraan naik.

Secara khusus, industri otomotif juga merupakan salah satu industri pengolahan. Industri pengolahan menurut data terbaru menyumbang sekitar 20 persen pendapatan atau produksi nasional dengan menyerap sekitar 1,5 juta tenaga kerja. Jadi sinergitas kebijakan BI dengan DP nol persen untuk kredit kendaraan baru dan kebijakan PPnBM yang ditanggung pemerintah menyasar dua sisi sekaligus yaitu sisi konsumsi dan sisi produksi.

Apakah Efektif?

Pertanyaannya apakah kebijakan-kebijakan itu akan efektif? Jawabannya kebijakan ini akan efektif jika didukung pula oleh beberapa faktor yang lain. Pertama, suku bunga kredit yang rendah. Pembelian kendaraan dengan kredit di samping tergantung dari uang muka atau DP juga akan tergantung dari suku bunga yang harus dibayar oleh konsumen. BI selama ini terus menurunkan suku bunga acuannya. Terakhir dalam RDGBI suku bunga acuan atau BI 7 Days Repo Rate diturunkan lagi menjadi 3,5 persen dari yang seebelumnya 3,75 persen. 

Suku bunga simpanan dan kredit memang juga menurun tetapi penurunannya tak seagresif atau secepat penurunan suku bunga acuan. Hal tersebut disebabkan  karena: ada senjang waktunya (sekitar 3 sampai 4 bulan setelah  bunga acuan turun baru bunga simpanan dan kredit turun), masih tingginya biaya overhead bank (antara lain untuk pembangunan dan pemeliharaan ATM), dan masih tingginya resiko kredit di tengah pandemi dan lesunya ekonomi. 

Maka BI dan OJK mestinya terus menghimbau agar bank-bank umum segera menurunkan suku bunganya khususnya suku bunga kreditnya. Khusus untuk bank milik pemerintah atau bank BUMN mestinya bisa memelopori penurunan suku bunga simpanan dan kredit ini karena struktur pasar perbankan Indonesia adalah struktur oligopoli dengan bank BUMN sebagai pemimpin harga. Seringkali bank BUMN ini tak agresif menurunkan suku bunga simpanan dan kreditnya karena tuntutan harus setor ke APBN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun