Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Politik

SEBUAH PELAJARAN BERHARGA DARI PRESIDEN TRUMP

9 Januari 2021   00:11 Diperbarui: 11 Maret 2021   20:11 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikutip dari Pxhere

Donal Trump selama beberapa bulan terakhir selalu menegaskan pemerintahannya sebagai simbol peraturan dan ketertiban. Dia menyebut dirinya sebagai 'Your President of Law and Order'. Sebuah klaim yang didengungkannya sebagai reaksi terhadap demonstrasi besar melawan ketidak-adilan ras yang dipicu tewasnya George Floyd akibat kebrutalan pihak kepolisian.

Bukannya merangkul atau bersimpati, Trump lebih banyak menjelekkan demonstrasi yang meluas di seluruh Amerika Serikat itu sebagai gerakan kaum anarkis. Bahkan dia mengancam untuk mengerahkan personil militer dan mendesak gubernur negara bagian untuk menerjunkan Garda Nasional guna 'mendominasi jalanan'.

Seolah ingin membuktikan ancamannya, Juni lalu ketika terjadi demonstrasi damai di sekitar Taman Lafayette dekat Gedung Putih, US Park Police dan National Guards Troops dikerahkan untuk membubarkan dengan tindakan keras.

Dan setelah demonstrasi berhasil dibubarkan,Trump berjalan ke gereja Episcopal St. John di seberang Gedung Putih. Bukan untuk masuk atau berdoa, melainkan hanya untuk berfoto di depan gereja sambil memegang Kitab Suci.

Tindakan pencitraan ini mengundang kecaman keras dari banyak kalangan, bahkan dari gereja Episcopal itu sendiri - yang sama-sekali tidak diberitahu tentang rencana tersebut.

Rev. Mariann Edgar Budde, Uskup Episcopal Washington menulis di akun twitternya "Bible mengajar untuk mencintai Tuhan dan tetangga kita, bahwa semua orang dikasihi-Nya, supaya kita bertindak adil dan mengutamakan kasih. Sementara Presiden malah menyalahgunakan ayat suci sebagai simbol perpecahan."

Tentu saja bukan Trump kalau peduli dengan semua kecaman itu. Selama kampanye kepresidenan, dia terus saja menyuarakan narasi yang sama. Menggambarkan dia dan massa pendukungnya sebagai pihak yang taat hukum dan peraturan, dan mencintai simbol-simbol Amerika. Dan pada saat yang sama selalu menuduh Biden dan massa pendukungnya sebagai pihak yang akan membawa anarki dan kekacauan.

Dengan segala klaim, pencitraan, dan tuduhan yang dilancarkan Trump pada massa penentangnya, maka sungguh sangat ironis ketika justru pendukungnya sendiri yang akhirnya melakukan tindakan anarki terbesar dalam sejarah modern Amerika: menyerbu dan menduduki Gedung Capitol Hill selama hampir tiga jam pada hari Rabu, 6 Januari lalu.

Sebuah tindakan yang pada akhirnya membuat tokoh-tokoh Republikan -partai pengusung Trump sendiri - melancarkan kecaman keras. Tidak hanya kepada massa pendukung yang brutal, tetapi juga terhadap presiden yang dianggap sebagai pemicu kebrutalan tersebut. Sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya.

George W Bush, mantan presiden sekaligus tokoh senior Republikan, seperti yang dikutip NBC, mengatakan "Seperti inilah hasil pemilu dipertentangkan di republik pisang - bukan di negara republik kita yang demokratis."

Republik Pisang atau 'Banana Republik' adalah sebuah sindiran terhadap pelaksanaan demokrasi yang serba kacau di negara-negara amerika latin.

Senator Partai Republik Mike Gallagher berpendapat senada. "Kita sekarang baru menyaksikan kekacauan ala republik pisang di Capitol Hill.'

Para pendukung setia Trump sendiri berbalik arah menyaksikan penyerbuan tersebut.

Tom Cotton, senator Arkansas yang merupakan pendukung setia Trump, seperti dikutip Bloomberg, menyatakan, "Sudah saatnya presiden untuk menerima hasil pemilu, berhenti menghasut rakyat Amerika dan mendorong kekerasan massa."

Dikutip media yang sama, Senator Kelly Loeffler yang berencana menentang pengesahan kemenangan Joe Biden, mengatakan nuraninya tidak lagi mengijinkan dia meneruskan rencana itu setelah melihat kebrutalan yang terjadi.

Bahkan tokoh-tokoh yang selama ini gigih membela Trump juga berpendapat senada.

William Barr, Jaksa Agung yang baru mengundurkan diri, seperti dikutip Associated Press, menyebut itu sebagai "Pengkhianatan terhadap jabatannya sendiri."

Senator Lindsey Graham yang sampai saat terakhir sangat vokal mendukung Trump menolak hasil pemilu, dalam pernyataan resminya, mengatakan, "Presiden sudah terlalu jauh dengan menghasut massa untuk menyerbu konggres."

Mungkin Trump lupa bahwa dalam Kitab yang cuma dia pakai berfoto itu terdapat kalimat yang sangat relevan untuk menilai tindak-tanduknya.

"Jangan menghakimi, supaya kamu jangan dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi. Dan ukuran yang kamu pakai mengukur, akan diukurkan kepadamu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun