Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah yang Membawa Dompet

12 Juli 2025   21:51 Diperbarui: 12 Juli 2025   21:51 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya dibesarkan dalam keluarga yang aneh menurut ukuran banyak orang. Di rumah kami, ayah tidak hanya pencari nafkah, tapi juga bendahara. Ia yang bekerja, ia pula yang menghitung pengeluaran. Ia yang membeli beras, juga mencatat kapan uang sekolah anak-anak mesti dilunasi. Ia yang menentukan kapan bisa ganti tabung gas dan kapan cukup pakai kayu bakar. Dan yang paling mengagumkan: ibu menyerahkan semuanya kepada ayah, sepenuh hati, seolah berkata, "Engkau yang memimpin kapal ini, aku akan duduk tenang di sampingmu."

Itu bukan kepasrahan yang buta. Bukan pula karena ibu tak mampu berhitung. Ia hanya memilih percaya. Ayah tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Jika ada kekurangan, ia akan berkata terus terang, "Kita kekurangan uang bulan ini." Dan jika perlu meminjam pada keluarga atau tetangga, ayah akan mengatakannya kepada ibu, seakan mengundangnya ikut memikul, meski tahu ibu tak akan membantah. Tak ada rahasia. Tak ada kepura-puraan demi harga diri. Hanya keterbukaan sederhana.

Di sanalah saya belajar, sejak kecil, bahwa kekuasaan atas uang tak selalu berarti kekuasaan atas keluarga. Justru karena ayah memegang uang, ia harus terus-menerus jujur. Uang bukan alat untuk mengendalikan, melainkan jembatan untuk menyatukan. Dalam diam, saya mengagumi keseimbangan itu. Betapa uang yang kerap membuat rumah tangga genting, di tangan ayah dan ibu saya, menjadi pengikat rasa saling percaya.

Kini saya sudah menikah. Dan saya mewarisi watak ayah: dalam urusan uang, saya cenderung ingin tahu semuanya. Bukan karena tamak, tapi karena rasa tanggung jawab. Uang masuk dari mana, keluar ke mana, sisa berapa, utang siapa---saya ingin tahu. Saya bukan orang yang mudah percaya bahwa sesuatu akan baik-baik saja. Saya tahu, banyak hal tidak baik-baik saja hanya karena kita mengabaikan hitungan kecil.

Tapi ada tantangan baru. Ketika istri tak memiliki kebiasaan seperti saya, ketika ia tak selalu ikut memikirkan bagaimana uang itu dihasilkan---saya mulai merasa, betapa warisan ayah itu bisa menjadi beban jika tak dipikul berdua.

Kadang saya tergoda untuk menjadi seperti ayah: pegang semua. Tapi zaman berubah. Banyak istri kini bekerja, punya penghasilan sendiri, bahkan lebih besar dari suami. Ada yang berkata, "Uang suami itu uang istri, tapi uang istri ya uang istri." Guyonan yang sering terdengar, sambil tertawa. Tapi guyonan tak selalu ringan. Ia bisa menyimpan luka atau ketimpangan. Ia bisa menjadi pertanyaan besar yang diselipkan dalam kelakar.

Mengapa kita tertawa saat mendengarnya? Mungkin karena kita tahu, banyak rumah tangga yang menyimpan ketidakadilan dalam pengelolaan uang, tapi memilih menertawakan daripada membahasnya. Karena uang memang perkara sensitif. Ia punya kuasa mengguncang rumah, lebih dari sekadar perabot rusak atau omelan mertua.

Saya tak hendak menguliahi siapa pun. Tapi saya ingin mengajukan satu tanya, yang pelan-pelan tumbuh di benak saya sejak menikah: bagaimana seharusnya suami dan istri mengelola uang bersama?

Saya kira, jawaban paling jujur bukan soal siapa yang pegang dompet, siapa yang berhak tahu pin ATM, atau siapa yang bayar cicilan mobil. Bukan. Tapi bagaimana mereka saling membuka diri. Sebab uang, pada dasarnya, bukan benda mati. Ia membawa nilai. Ia menyimpan cerita. Ia bisa menjadi bahasa kasih sayang, atau juga bahasa penguasaan. Semua tergantung siapa yang menyentuhnya dan dengan niat apa.

Dalam keluarga saya dulu, ayah pegang semua karena ibu percaya. Tapi bukan berarti ibu tidak tahu. Ayah selalu bercerita. Bahkan jika ia pinjam uang diam-diam ke kakaknya, ia tetap bilang. Mungkin karena baginya, keberanian mengakui kekurangan itu lebih penting daripada gengsi menjadi kepala keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun