Mohon tunggu...
Novita Sikome
Novita Sikome Mohon Tunggu... Wiraswasta - Love my family

Live as I want to..\r\nMencintai gunung,\r\nMengoleksi bunga anggrek,\r\nMenggilai Superman DC Comics,\r\nMerasa sebagai warga negara dunia,\r\nMenulis untuk kepuasan hati...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kursi Dokter Seharga Rp250 Juta Rupiah, Orang Miskin Dilarang Sekolah Kedokteran

17 Mei 2013   11:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

"Kursi Kedokteran di 'lelang' seharga Rp.250 Juta Rupiah". Tajuk Headline di salah satu surat kabar Manado kemarin membuat saya langsung terhenyak. Antara heran dan bingung. "Kalau mau langsung masuk, posisi aman, yah Rp.250 Juta, itu sudah pasti!" ungkap salah seorang mahasiswa yang identitasnya dirahasiakan. Demikian salah satu bunyi dari artikel tersebut. Saya jadi miris. Setelah menghitung secara kasar, seandainya pendapatan perbulan sesuai dengan UMP di Manado yang kalau tidak salah Rp. 1.250.000, itu artinya, orang-orang dari kalangan bawah tidak akan pernah bisa menyekolahkan anaknya di Fakultas Kedokteran. Apalagi, masih ada yang pendapatan perbulannya dibawah 1 juta Rupiah.

Itu artinya, ternyata dinegeri ini, bukan saja "Orang Miskin Dilarang Sakit", tapi, "Orang Miskin Dilarang Sekolah Dokter" juga. Makanya, tidak heran, disini banyak sekali dokter-dokter "Gadungan", yang titelnya saja boleh dokter keluaran universitas, tetapi kualitasnya amburadul.

Kedengarannya, bahkan kursi dokter di fakultas kedokteran agak mirip-mirip dengan Calon Legislatif. Harus keluar uang yang banyak untuk bisa menggapai hati para pemilih yang rata-rata mata duitan. Setelah sudah menang, baru mengeruk uang negara/masyarakat, agar bisa mengembalikan modal yang dipakai buat mencalonkan diri. Seorang calon dokter harus bisa mengeluarkan uang yang banyak agar bisa masuk sekolah kedokteran, untuk nantinya jadi dokter yang berpenghasilan tinggi.

Bagaimana dengan pengabdian? Sayang sekali, semuanya hanya omong kosong belaka. Segala sumpah tetek bengek dan kode etik hanya pemanis belaka. Seperti ketika saya jalan-jalan, mengunjungi salah satu pulau terluar di Indonesia, di Nusa Utara. Rumah warga yang saya gunakan untuk numpang tinggal, bersebelahan dengan puskesmas, yang lebih mirip klinik kumuh. Selama beberapa hari saya tinggal disana, selalu setiap kali ada warga yang datang, mereka sering mengeluh, sambil mengomel ketika keluar dari Puskesmas. Tergelitik oleh rasa ingin tahu yang lumayan besar, yang kadang membawa saya ke sebuah situasi yang sulit (hehe), saya bertanya pada salah seorang warga. Jawab mereka;  "selalu setiap datang, dokter tidak ada, lagi ke Manado katanya. Selalu saja ke Manado, tidak pernah ada di sini!

Bukannya tidak ada yang tulus berbakti. Namun dibandingkan dengan lulusan sekolah kedokteran yang ada, jumlahnya terlalu sedikit. Kata seorang teman, yang dokter juga, ketika saya protes tentang hal tersebut,  jumlah dokter di Indonesia sangat sedikit. Bagaimana jumlahnya bisa meningkat, jika hanya untuk masuk ke Fakultas Kedokteran saja bukan OTAK yang di perhitungkan, tapi DOMPET?. Miris saya. (NS/2013)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun