Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... mahasiswa Universitas Jambi

Saya Novita Sari hobi saya membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Taman Nasional Bukit Duabelas: Rumah Orang Rimba yang Kini Terdesak

25 Juni 2025   15:51 Diperbarui: 25 Juni 2025   15:51 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di balik lebatnya hutan tropis Jambi, tersembunyi sebuah kawasan yang bukan hanya menjadi paru-paru hijau bagi Sumatra, tetapi juga rumah bagi kehidupan yang nyaris tak tersentuh zaman. Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) bukan sekadar bentang hutan lindung—ia adalah ruang hidup bagi Suku Anak Dalam, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Orang Rimba. Namun kini, ketenangan hutan itu tak lagi utuh. Deru alat berat, kobaran api, dan suara-suara asing mulai mengusik keseharian mereka. Di tengah gencarnya kampanye pelestarian lingkungan, kisah Orang Rimba menjadi potret yang kontras: bahwa pelestarian alam sering kali tidak berjalan seiring dengan perlindungan terhadap manusia yang telah lama menjaganya.

Taman Nasional Bukit Duabelas ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 2000. Luasnya mencapai lebih dari 60.000 hektare, membentang di wilayah Sarolangun, Batanghari, dan Tebo, Provinsi Jambi. TNBD memegang peran penting dalam menjaga ekosistem Sumatra—dari menstabilkan iklim mikro, menyediakan cadangan air, hingga menjadi habitat bagi satwa langka seperti harimau Sumatra, tapir, kijang, dan berbagai jenis burung endemik. Namun TNBD bukan hanya sekadar hutan dalam pengertian ekologis. Di dalamnya, hidup komunitas manusia yang telah lama menyatu dengan alam: Suku Anak Dalam.

Suku Anak Dalam telah menghuni kawasan ini jauh sebelum istilah “konservasi” dikenal luas. Mereka hidup secara nomaden, berpindah dari satu wilayah hutan ke wilayah lainnya. Mereka tidak mengenal konsep kepemilikan tanah seperti masyarakat modern. Bagi mereka, hutan adalah milik bersama—tempat mencari makan, tempat tinggal, dan juga ruang spiritual. Mereka memiliki nilai-nilai hidup yang kuat: menghormati alam, menjaga keseimbangan, dan hanya mengambil apa yang benar-benar dibutuhkan. Orang Rimba tidak menebang pohon sembarangan. Mereka tahu waktu berburu, mengenali tumbuhan obat, dan memiliki bahasa sendiri yang kaya akan makna serta filosofi. Di balik kesederhanaan hidup mereka, tersimpan kebijaksanaan ekologis yang telah teruji oleh waktu. Namun semua itu kini berada di ujung tanduk.

Dalam dua dekade terakhir, ruang hidup Suku Anak Dalam menyempit drastis. Perambahan hutan secara ilegal, ekspansi perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur perlahan-lahan mengusir mereka dari tanah leluhur. Banyak kawasan hutan yang dulu bebas mereka jelajahi, kini telah dipagari, dijaga ketat, bahkan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun semakin memperparah kondisi. Asap pekat tak hanya meracuni udara, tetapi juga membunuh tumbuhan serta mengusir satwa buruan yang menjadi sumber pangan mereka. Pemerintah pun menggulirkan program pemukiman tetap, yang mendorong Orang Rimba untuk meninggalkan pola hidup nomaden. Mereka diajak “hidup lebih baik” dengan mengadopsi cara hidup modern. Namun bagi sebagian besar dari mereka, ini justru menjadi tekanan besar: mereka kehilangan identitas, namun tak kunjung diterima dalam sistem baru. Anak-anak muda Suku Anak Dalam pun banyak yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Di kota, mereka dianggap terbelakang; di hutan, mereka kehilangan tempat. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya menjadi buruh kasar, hidup dari belas kasihan, atau bergantung pada bantuan sembako dari luar.

Di tengah ancaman yang terus membayangi, muncul juga secercah harapan. Sejumlah LSM, aktivis, dan komunitas pendamping mulai hadir untuk memberikan pendidikan, layanan kesehatan, serta advokasi hak-hak Orang Rimba. Mereka tidak datang untuk mengubah cara hidup, melainkan memberdayakan dari dalam. Pendidikan alternatif diperkenalkan dengan pendekatan budaya, sehingga anak-anak bisa belajar membaca dan menulis tanpa harus meninggalkan hutan. Beberapa tokoh muda dari komunitas ini mulai berani bersuara, bahkan tampil di forum-forum nasional dan berbicara langsung kepada pemerintah tentang pentingnya pengakuan tanah adat. Namun sayangnya, upaya ini masih bersifat lokal dan belum didukung secara menyeluruh oleh kebijakan nasional. Tanpa perlindungan hukum yang kuat atas hak tanah dan budaya lokal, Orang Rimba akan tetap berada dalam posisi yang sangat rentan.

Hutan bukan hanya soal pohon-pohon tinggi dan udara bersih. Bagi Orang Rimba, hutan adalah rumah, sumber kehidupan, dan bagian dari identitas. Ketika hutan dirusak, maka yang hilang bukan hanya oksigen dan flora-fauna, tetapi juga sebuah cara hidup yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Sudah saatnya kita memandang Orang Rimba bukan sebagai penghalang pembangunan, tetapi sebagai mitra penting dalam pelestarian alam. Mereka adalah penjaga hutan sejati. Pola hidup mereka yang sederhana dan harmonis dengan alam bisa menjadi inspirasi di tengah dunia yang tengah dilanda krisis iklim. Melindungi Taman Nasional Bukit Duabelas berarti melindungi manusia dan alam secara bersamaan. Tidak cukup hanya dengan menanam pohon tanpa memastikan ruang hidup manusia yang selama ini menjaga hutan tetap terjaga.

Suku Anak Dalam bukanlah kisah masa lalu. Mereka adalah bagian dari Indonesia hari ini. Meskipun hidup jauh dari sorotan kota, mereka tetap warga negara yang berhak untuk hidup dengan cara mereka sendiri. Jika kita benar-benar peduli pada lingkungan, maka kita tidak bisa membiarkan komunitas seperti mereka tersingkir. Sebab, menjaga hutan bukan hanya soal menyelamatkan alam, tetapi juga menyelamatkan manusia yang selama ini diam-diam menjadi pelindungnya. Mari kita dengarkan suara hutan melalui mereka yang tumbuh bersama akar dan rantingnya. Mari kita jaga Bukit Duabelas, dan jaga pula penghuninya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun