Gula Kristal Putih (GKP), sebagai produk hasil kristalisasi ekstrak tebu, merupakan komoditas vital dalam industri makanan Indonesia. Memiliki bentuk kristal putih kecil, GKP menjadi pemanis alami yang umum digunakan oleh masyarakat. Lebih dari itu, industri gula menjadi sektor strategis dalam menopang ketahanan pangan nasional.
Data dari Kementerian Perindustrian (2023) menyebutkan bahwa saat ini terdapat 59 pabrik gula beroperasi di Indonesia, terdiri dari 40 pabrik milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan 19 lainnya dikelola pihak swasta. Target besar tengah diupayakan untuk mencapai swasembada gula konsumsi sebesar 2,66 juta ton (BPS, 2020). Namun, penurunan produksi dalam negeri mendorong ketergantungan pada impor gula.
Jawa Timur menjadi salah satu provinsi dengan kontribusi terbesar terhadap produksi gula nasional. Aktivitas industri gula di wilayah ini umumnya beroperasi selama musim giling antara Juni hingga November. Proses produksi sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku tebu yang berasal dari tebu rakyat (TR), yang hanya dapat dipanen sekali dalam setahun. Oleh karena itu, keberlanjutan pasokan tebu menjadi sangat krusial.
Namun, proses pengadaan tebu bukan tanpa tantangan. Setelah dipanen setahun sekali, tebu melalui serangkaian proses pasca-panen yaitu Tebang, Muat, dan Angkut (TMA). Aktivitas ini harus berlangsung cepat karena tebu idealnya digiling dalam waktu maksimal 24 jam setelah ditebang (Evizal, 2018). Masalah lain muncul dari pembakaran lahan yang dilakukan sebelum panen untuk membersihkan serasah, serta lamanya waktu antrian truk di pabrik, yang bisa mencapai 6 hingga 10 jam.
Rangkaian aktivitas ini tidak hanya menimbulkan persoalan logistik, tapi juga menyumbang signifikan terhadap emisi karbon. Jejak karbon (carbon footprint) menjadi perhatian besar karena aktivitas pembakaran lahan menghasilkan partikel pencemar udara seperti PM10, CO2, dan NO2, sementara transportasi truk berkontribusi sekitar 2,67 kgCOe per kilometer (BPPT, 2020). Dengan lebih dari 5000 truk beroperasi selama musim panen, potensi emisi tahunan diperkirakan mencapai 8000 tonCOeq (BPS, 2022).
Secara nasional, Indonesia menyumbang sekitar 3,11% dari total emisi dunia, dengan sektor energi dan transportasi menjadi kontributor utama (Climate Watch, 2021). Industri gula, sebagai bagian dari sektor manufaktur, menyerap konsumsi bahan bakar tinggi yang berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca.
Untuk itu, pendekatan Life Cycle Assessment (LCA) dinilai penting dalam menganalisis dampak lingkungan secara menyeluruh dari proses pengadaan tebu hingga produksi gula. LCA, sebagaimana didefinisikan oleh ISO 14040 (2006), mengkaji seluruh siklus hidup produk untuk mengukur dan mengurangi dampak lingkungan. Penerapan LCA di industri memungkinkan pengukuran emisi dari setiap tahapan proses, termasuk TMA.
Dengan penerapan LCA dalam aktivitas TMA, diharapkan industri gula dapat lebih tanggap terhadap isu lingkungan, sekaligus mendukung upaya nasional dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Langkah ini sejalan dengan komitmen global dalam menekan laju pemanasan bumi dan menjaga keberlanjutan industri strategis Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI