Banyaknya interaksi yang dilakukan justru semakin menambah khazanah diri akan pembentukan karakter dan pemikiran yang lebih dewasa dibandingkan muda-mudi seumuran lainnya.
Hal ini seringnya terjadi karena topik-topik pembicaraan biasanya tidak akan sama dengan topik-topik para remaja atau muda-mudi di usia awal 20an. Dengan kolega-kolega senior, topik-topik pembicaraan cenderung lebih serius dan mendalam.
Bahkan saat itu, saking terlalu seringnya bercengkerama dengan kolega-kolega senior di kantor, saya tak lagi mudah berkomunikasi dengan topik-topik teman-teman seusia saya saat kami ngobrol-ngobrol santai.
Pemikiran ini tak lain karena ruang lingkup dari lingkungan diskusi saya yang sudah berbeda. Jujur saja, saat bercengkerama dengan kolega-kolega yang lebih senior, saya justru menjadi lebih kritis.
Lebih dari dua tahun bercengkerama dengan kolega-kolega senior di kantor saya membuat mereka berpikir bahwa pemikiran saya bahkan telah jauh di atas usia saya saat itu.
Mendapat panggilan kesayangan
Tak butuh waktu lama untuk bisa mengakrabkan diri dengan para kolega senior, hingga mereka pun memberi nama panggilan "Cumi" untuk saya saat itu.
Nama itu pun tak hanya menjadi nama panggilan secara verbal saja, tapi juga menjadi nama panggilan secara tulisan dalam surel. Bahkan si bos besar yang notabene adalah WNA pun tak lagi menuliskan nama saya saat menulis surel, tetapi sapaan dalam surel menjadi, "Dear Cumi,...".
Adanya panggilan khusus ini pun menambah keakraban saya sebagai "anak bawang" dengan para kolega senior di kantor saat berinteraksi. Alih-alih merasa ada jurang pemisah, kami justru merasa semakin dekat saja.
Nah, meskipun ada kelemahan dan tantangan yang membuat stress di tempat kerja saat menjadi "anak bawang", hal itu bukanlah alasan untuk tak bisa mengakrabkan diri dengan para kolega senior.
Dalam banyak hal lainnya justru kita banyak dihadapkan pada kesempatan-kesempatan bagaimana harus menyikapi keberagaman usia dalam ranah pribadi dan juga profesional.